Toba Dreams: Dua Ironi yang Menusuk Hati
TABLOIDBINTANG.COM - BENNI Setiawan salah satu seniman yang diakui kredibilitasnya dalam menulis naskah maupun menyutradarai film.
Meski belakangan, naskahnya cenderung datar dan melenakan. Benni kembali membuktikan keandalannya dalam menulis lewat ToBa Dreams. Selera humornya menyenangkan. Cara menata konfliknya terasa padat dan memancing simpati.
Diangkat dari novel bertajuk sama, film ini jika disarikan dalam dua kalimat bisa jadi begini: jangan tanyakan apa yang dapat negara berikan kepadamu, tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara; jangan tanya apa yang dapat ayah berikan kepadamu, tanyakan apa yang bisa kau persembahkan kepada ayah.
Dua kalimat ironi itu dihidangkan Benni dalam sepiring kisah berdurasi dua jam lebih.
Sersan Tebe (Mathias) memasuki masa pensiun. Kecintaannya kepada negara dan idealismenya berkata, “Tidak pantas bagi seorang pensiunan tetap tinggal di rumah dinas”.
Dia mengajak istrinya (Tri Yudiman) beserta tiga anaknya, Ronggur (Vino), Sumurung (Haykal), dan Taruli (Vinessa) pulang ke Sumatera Utara. Ronggur menolak. Dia merasa hidup dan cintanya ada di Jakarta.
Ronggur telah menjalin hubungan dengan Andini (Marsha), meski orang tua Andini tak memberi restu. Setelah beberapa hari tinggal di Sumatera, Ronggur nekat balik ke Jakarta.
Dia menemui Andini. Untuk bertahan hidup, Ronggur menjadi sopir taksi. Suatu malam, tiga pria menumpang lalu menawari Ronggur pekerjaan mengantar kue tar. Tidak dinyana, kue di dalam boks itu berisi narkotika. Ronggur merasa dijebak. Kemudian dia terjebak.
Dua ironi itu mewarnai ToBa Dreams hingga ke menit akhir. Ironi penghormatan negara yang minim terhadap mantan militer hanya terasa di 30 menit pertama untuk kemudian menjadi latar pemicu konflik ayah dan anak. Menariknya, Benni jeli membaca kebutuhan penonton. ToBa Dreams tidak bisa ditutur dalam 90 menit. Ia butuh beberapa pisau agar bisa menusuk hati penonton.
Pertama, ketajaman akting. Itu dapat kita rasakan dari semua pemain. Energi Mathias dan Vino diimbangi penampilan pemeran pendukung seperti Jajang C. Noer dan Boris Bokir. Kedua, terlalu serius bercerita membuat penonton “tua di bioskop”.
Maka, dibutuhkan selera humor yang baik untuk sekadar relaksasi tanpa harus menodai plot utama. Di sinilah jasa besar Jajang dan Boris terlihat.
Ketiga, ini kisah Sumatera Utara dan orang-orang berdarah Sumatera Utara. Selain pemain dan lokasi, dibutuhkan suasana yang membuat penonton yakin dan hanyut ke dalam konflik keluarga Tebe. Terima kasih untuk ilustrasi musik Viky Sianipar yang membuat kita terbang dan tenggelam di sana.
Satu lagu yang membuat hati kami tergerus, “Dang Marna Mubaho”. Lagu ini mewakili sayatan-sayatan pedih yang dirasakan Tebe. Lagu yang persis mengiris hati penonton di menit akhir ini sukses merangkum seluruh cerita yang dijahit Benni.
Ini karya terbaik Benni disamping 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta yang memborong 6 Piala Citra itu.
(wyn/gur)
Pemain : Vino G. Bastian, Mathias Muchus, Marsha Timothy, Haykal Kamil, Vinessa Inez
Produser : Rizaludin Kurniawan
Sutradara : Benni Setiawan
Penulis : Benni Setiawan, TB Silalahi
Produksi : TB Silalahi Center, Semesta Production
Durasi : 124 menit