Anak Mulai Bicara Cinta, Bagaimana Orang Tua Harus Menyikapi?

Wida Kriswanti | 19 Oktober 2019 | 03:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Siapa di antara Anda -- orang tua dari anak yang masih kecil (di bawah usia remaja) -- yang sedang “ribet” dengan anak perempuannya yang sibuk mengidolakan Shawn MendeS atau BTS? Atau anak laki-lakinya yang mulai senyum-senyum sendiri saat melihat Jennie BlackPink, misalnya. Bersiaplah, karena anak Anda mulai “bicara cinta”. Antara lucu dan waswas “Anak mulai suka, senang, naksir, kagum, sayang, curi-curi pandang, malu-malu, dan lain-lain terhadap lawan jenis. Tentu bukan perkara mudah bagi orang tua,” buka Anggia Chrisanti, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) plus di Biro Psikologi Westaria. Gejala-gejalanya terlihat lewat ungkapan-ungkapan seperti ‘aku suka’, ‘aku senang’, ‘dia keren’ atau ‘dia lucu’. Mereka pun mulai nampak asyik dan niat menonton atau membeli majalah yang memuat idolanya. “Orang tua pun bingung, harus bagaimana?”

Menjadi rumit, saat ketertarikan anak terhadap lawan jenis tidak berhenti pada mengidolakan artis -- notabene hanya “sosok dalam layar televisi”, sehingga orang tua lebih mudah menyikapinya -- melainkan juga terhadap orang-orang “nyata” di lingkungan sekitar mereka. Bisa teman sebaya di rumah, di sekolah, atau bukan teman-teman sebaya di lingkungan yang lebih luas. “Lucu, menyadari bahwa anak-anak ternyata sudah tumbuh lebih dewasa, mulai memperhatikan penampilan dan berusaha mengikuti gaya orang dewasa. Tapi, juga waswas, karena rentan menjerumuskan anak pada perilaku mencintai yang salah,” tutur Anggia.

Apa yang harus dilakukan?

Oleh karenanya, orang tua harus pandai menyiasati dan mendampingi anak secara cerdas dan cantik dalam menghadapi tahapan perkembangan anak yang juga dikenal sebagai masa identifikasi ini. “Jika tidak, maka akan memengaruhi self esteem (harga diri) anak di masa mendatang,” tegas Anggia. Maka:

1. Cintai diri sendiri, baru cintai orang lain

Tanamkan pada anak -- lakukan, contohkan, ajarkan. Sampai anak memahami bahwa rasa suka, ketertarikan, perasaan sayang atau cinta, haruslah dimulai dari diri sendiri. Dan jadilah berharga. Dengan demikian, orang lain pun akan memperlakukan sama. Banyak kasus pelecehan terjadi disebabkan oleh perilaku kita sendiri yang tidak memiliki penghargaan terhadap diri, sehingga menjadikannya “sasaran empuk”.

2. Ingatlah untuk selalu mendampingi

Tugas utama orang tua bukanlah mengajari atau mendidik, tapi mendampingi. Mendampingi memiliki makna, bahwa sebagai orang tua, kita harus membiasakan diri untuk “benar” (bukan baik) dalam tiga hal; berpikir (kognitif), merasa (afektif), dan berperilaku (sosio motorik). Sehingga pendampingan menjadi efektif sebagai proses meniru dan ditiru antara anak dan orang tua. Karena apa yang diajarkan (melalui perkataan), hanya memiliki 5 persen saja dalam proses pembelajaran, sisanya didapat dari contoh dan pembiasaan.

3. Nikmati setiap masa perkembangan anak dengan proporsional

Orang tua tidak perlu melebihkan atau mempercepat prosesnya. Misalnya, dengan ikut mendandani penampilan anak atau mendukung secara berlebihan rasa suka anak kepada lawan jenis. Namun, tidak juga bersikap skeptis dan apatis, seperti mencibir, menghina atau memarahi. Biarkan prosesnya mengalir sesuai iramanya, tapi tetap dampingi anak untuk memberikan rambu-rambunya.

4. Tidak mudah, tapi teruslah berusaha

Jujur, ketakutan orang tua saat ini berbeda dengan ketakutan orang tua di masa sebelum ini (misal, zaman orang tua kita). Betapa perkembangan teknologi (informasi dan media sosial) sangat besar dan deras memenuhi ruang gerak dan kehidupan anak-anak kita. Lingkungan bukan lagi sekadar keluarga, rumah atau sekolah, tapi, bisa begitu besar melampaui apa yang bisa kita bayangkan. Oleh karenanya, proses pendampingan mutlak harus terjadi pada seluruh sisi kehidupannya.

5. Bebaskan emosi Anda dari endapan negatif

Faktor emosi berpengaruh 85 persen dalam setiap elemen kehidupan kita. Jadi sebaik-baiknya, emotional freedom orang tua harus terjaga yang otomatis akan menular pada anak. Emosi yang stabil, emosi yang jauh dari negatif, adalah “penyelamat” bagi orang tua sebagai pendamping maupun anak itu sendiri. Naskah: wida kriswanti caption: Tetap dampingi anak untuk memberikan rambu-rambunya.

 

Penulis : Wida Kriswanti
Editor : Wida Kriswanti