Pengaruh Sifat Narsis Orang Tua terhadap Pola Asuh Anak

aura.co.id | 6 Maret 2020 | 23:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Keberadaan medsos memicu orang untuk mengunggah foto, video, maupun tulisan untuk menampilkan kehidupan mereka secara sempurna. Kegemaran mengekspos diri merupakan bagian dari sifat narsis atau kecintaan berlebih terhadap diri sendiri. Ini sebabnya, generasi milenial yang notabene pengguna medsos terbanyak diidentikkan dengan sifat narsis. Dan saat ini, sebagian generasi milenial telah memasuki fase menjadi orang tua. Adakah pengaruh sifat narsis terhadap pola asuh anak?

Dalam buku Should I Stay or Should I Go? Surviving a Relationship with a Narcissist, Ramani Durvasula, profesor psikologi Universitas Negeri California, AS, menjabarkan makna narsis secara detail. Menurutnya, sifat sombong dan serakah merupakan inti sifat narsis. Sebenarnya, setiap orang mempunyai bibit sifat narsis, karena sifat ini termasuk tahap standar dari pertumbuhan manusia. Ketika sifat narsis mendominasi dan mulai memengaruhi fungsi seseorang dalam lingkungan keluarga dan pekerjaan, sifat itu bisa problematik dan mengarah ke gangguan kepribadian.

Hasil penelitian Durvasula bersama W. Keith Campbell, profesor psikologi dan pakar narsisisme Universitas Georgia, AS, mengemukakan bahwa sifat narsis pun berpengaruh pada pola asuh anak. Orang dengan kepribadian narsis akan menempuh satu dari dua cara dalam mengasuh anak. Pertama, mereka kehilangan rasa tertarik pada anak karena terlalu mementingkan diri sendiri. Kedua, mereka melihat anak sebagai refleksi diri dan menjadi orang tua yang terlibat secara berlebih dalam kehidupan anak.

Cara kedua banyak ditampilkan lewat akun medsos orang tua generasi milenial. Ciri-cirinya, akun medsos mereka dipenuhi foto dan video anak dari berbagai sudut terbaik, dihiasi keterangan panjang lebar yang menjelaskan betapa sempurnanya kehidupan mereka. Lewat akun medsos, diciptakan kesan bahwa mereka adalah orang tua dengan metode pengasuhan anak terbaik, yang menghasilkan anak-anak dengan karakter terbaik, membanggakan, dan mengagumkan. Sayangnya, jika “pencitraan” di medsos itu bersumber dari sifat narsis, Durvasula dan Campbell menilai, di balik akun medsos itu sebenarnya tidak ada koneksi perasaan antara orang tua dan anak. “Orang tua narsis menggunakan anak sebagai rute untuk keberhasilan mereka. Mereka merasa lebih baik dan terlihat baik karena keberhasilan anak mereka,” kata Campbell.

Imbangi Kompetisi dengan Empati

Ini sebabnya, orang tua narsis menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Mereka mendorong anak untuk mahir berolahraga, berprestasi di sekolah, dan fotogenik. Orang tua narsis meyakini anak-anak mereka spesial sehingga terkadang menolak menoleransi kekurangan. “Mereka melihat anak sebagai bagian dari diri mereka, seperti kaki tangan mereka. Dan ketika anak tidak berhasil mencapai tujuan, kekecewaan mereka dilampiaskan dengan menarik kasih sayang bahkan memutus hubungan,” bilang Durvasula.

Fokus narsisisme ke pencapaian anak menciptakan sifat, justru pada diri orang tua. Bahkan perang status di antara ibu-ibu—seperti ASI vs susu formula, ibu bekerja vs ibu di rumah, hingga vaksin vs nonvaksin—berakar dari penerapan pola asuh yang didasari sifat narsis. “Kita menciptakan dunia di mana hampir tidak mungkin untuk sukses kecuali Anda seorang narsistik,” Durvasula menyimpulkan.

Akan tetapi, perlu dipahami kompetisi tidak selamanya hal buruk. Namun, Durvasula mengingatkan, agar tidak terjebak pada kompetisi yang bertolak dari sifat narsis, orang tua harus mampu mengimbangi kompetisi dengan empati dan kasih sayang terhadap anak. Doronglah anak untuk terus berprestasi, namun tekankan tujuannya untuk kebaikan anak, bukan agar anak dan Anda dipandang orang lain. Jangan mengurangi kebanggaan apalagi kasih sayang jika anak tidak bisa memenuhi harapan Anda. Berempatilah terhadap perasaan anak dengan tidak memandang kekurangan mereka sebagai sebuah kesalahan yang menurunkan derajat Anda. 

Penulis : aura.co.id
Editor : aura.co.id