Media Sosial vs Realita, Apakah Anda Hidup dalam Kebohongan Instagram?

Wida Kriswanti | 16 Juli 2019 | 21:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Cukup mudah memahami istilah “Insta-Lie” yang mulai populer sekitar tahun 2015 ini. Terdiri dari dua kata, yaitu Insta dan lie yang berarti bohong, maka secara sederhana bisa kita maknai Insta-Lie sebagai kebohongan di Instagram. Secara lebih luas, kebohongan di media sosial. Tidak hanya dalam bentuk status yang ditulis, tapi juga foto dan video yang diunggah.

Beberapa waktu belakangan, kesadaran orang akan fenomena Insta-Lie semakin meningkat. Dunia psikologi pun semakin banyak mengupas hal ini dan bahkan memberitahu kita cara mengenalinya. Hingga cukup mudah saat ini bagi kita untuk menilai—atau bahkan menghakimi—apakah sesuatu yang ditampilkan di media sosial itu riil atau fake, walau tetap tidak bisa benar-benar 100 persen yakin.

Tentu yang dibahas di sini bukanlah akun media sosial perusahaan atau bisnis yang sejatinya memang akan mengemas cantik media sosial selayaknya tampilan di majalah agar laris manis jualannya. Melainkan akun-akun media sosial orang biasa atau kebanyakan. Minimal, bukan figur publik. Mereka bisa saja teman-teman kita di Facebook, Instagram, atau YouTube yang memang banyak lebih mengakomodir Insta-Lie.

Psikolog klinis dewasa Anna Margaretha Dauhan menjelaskan, terjadinya fenomena Insta-Lie, tidak lain karena adanya dorongan pada kebanyakan orang untuk dipersepsi positif dan diterima oleh orang lain. “Untuk beberapa orang, kebutuhan yang mendasari juga bisa saja kebutuhan untuk diakui atau dihargai orang lain,” kata Anna. “Dalam beberapa kasus, hal ini juga didasari oleh perasaan 'I am not good enough', sehingga perlu menampilkan hal yang berbeda dari kenyataan yang sebenarnya,” lanjutnya.

Bukan sebuah perasaan yang aneh atau salah. Dijelaskan Anna, kebutuhan mendapatkan pengakuan sebenarnya kebutuhan dasar yang sudah ada di setiap orang dan sudah ada sejak dulu kala. Hanya media dan bentuk penyalurannya saja yang berbeda-beda. Pada era media sosial, kemudahan orang lain memberikan tanggapan atau bereaksi dengan cepatlah yang membuat kebutuhan semacam ini sebaiknya dikendalikan, kecuali siap menjadi korban bullying karena kepalsuannya terlihat nyata.

Ketika yang terjadi sebaliknya pun sama mengerikan. Saat banyak orang terpesona dengan apa yang kita unggah, salah satu tanda memberi tanda “like” pada setiap unggahan, akan menyebabkan candu. “Apabila ada feedback yang didapat berupa jumlah follower atau like yang meningkat, maka hanya akan memperkuat perilaku berbohong di media sosial karena ada respons positif yang diinginkan itu,” terang Anna.

Cara Mencegah Diri Melakukan Insta-Lie

Di balik kesibukan kita mengurusi akun orang lain yang terasa fake, Anna justru mengajak kita untuk menjaga diri agar tidak ikut-ikutan menjadi pelaku Insta-Lie. Tetap punya akun media sosial, namun lebih riil dan manusiawi. Tip-tipnya seperti diuraikan Anna berikut ini.

- Supaya tidak fake, penting bagi seseorang untuk menemukan kebahagiaan atau kegembiraan yang real dan otentik. Misalnya, menciptakan hubungan yang riil dengan teman dalam interaksi sehari-hari (bukan melalui media sosial) lebih memberikan kepuasan batin dibandingkan sekadar mengunggah foto sedang beramai-ramai dengan teman, namun tanpa interaksi yang berarti.

- Menerima bahwa hidup kita tidak selalu sempurna dan tidak selalu seindah yang seringkali terlihat di media sosial.

- Menyadari bahwa foto-foto di media sosial juga merupakan rekaan dan belum tentu mencerminkan kondisi sebenarnya. Hal ini akan membantu kita untuk menetralisir perasaan bahwa diri kita kurang oke, karena tidak bisa mencapai atau memiliki hal-hal yang ditampilkan di media sosial.

Menelusuri apakah memang keinginan untuk selalu menampilkan hal yang positif di media sosial, bahkan jika hal tersebut fake atau tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya didorong oleh perasaan 'I am not good enough'. Apabila hal ini terjadi, penting bagi individu tersebut untuk belajar menerima dan mencintai dirinya sendiri yang bisa dimulai dengan menerima kekurangan dan kelebihan diri. Dengan demikian, dorongan untuk menampilkan pencitraan yang positif tapi palsu di media sosial diharapkan bisa berkurang.

 

Penulis : Wida Kriswanti
Editor : Wida Kriswanti