Hati-Hati, Patah Hati Bisa Berdampak Buruk pada Jantung dan Otak

Wayan Diananto | 17 Juli 2019 | 19:15 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Apa obat patah hati? Move on. Namun move on tak semudah yang dibayangkan. Pada 2008, para peneliti di Universitas Harvard, AS, membuat penelitian selama 9 tahun dengan melibatkan 300 ribuan responden yang menjalani hubungan lalu berpisah. Penyebab perpisahan beragam dari pertikaian hingga kematian. Hasilnya, 18 persen laki-laki yang ditinggal mati istri menyusul pasangan ke alam baka. Sementara 16 persen istri yang ditinggal mati suami, meninggal dalam waktu dekat. Fakta lain, patah hati berdampak buruk terhadap jantung dan otak.

Melonjaknya Hormon Kortisol

Hasil penelitian itu diamini spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit YPK Mandiri Jakarta Pusat, dr. Arie Wibowo SpPD. Arief menjelaskan, saat Anda patah hati, produksi hormon kortisol melonjak. “Kortisol adalah hormon steroid yang diproduksi oleh kolesterol di dalam dua kelenjar adrenal, yang terdapat di ginjal. Fungsinya mengatur metabolisme gula darah, lemak, protein, karbohidrat, sistem kekebalan tubuh, dan kadar asam lambung. Pada 2012, muncul istilah sindrom patah hati yang memicu stres,” beri tahu Arief.

Tingkat stres yang meninggi membuat kinerja jantung tidak stabil. Ini berbahaya. Sindrom patah hati diawali dengan pembengkakan jantung yang menyerupai perangkap gurita. Fenomena ini disebut takotsubo cardiomyopathy. Sindrom ini kali pertama ditemukan di Jepang. Ketika jantung membengkak, sirkulasi hormon kortisol, adrenalin, dan norepinefrin menjadi tidak terkendali.

“Fenomena ini memperburuk sistem kerja jantung. Akibatnya, otot-otot jantung perlahan melemah dan bisa berakhir dengan gagal jantung yang berujung pada kematian. Selain itu, patah hati berdampak buruk pada otak meski tidak seluruhnya,” sambung dia.

Penjelasan sederhananya begini, otak terdiri beberapa bagian. Ada bagian yang menjalankan fungsi memotivasi, memunculkan rasa bahagia, dan adiksi. Ketika seseorang patah hati, ada bagian otak yang merespons perpisahan dengan menciptakan keinginan untuk terus bersama dan menolak putus. Jika harapan tak terpenuhi, muncul perasaan sedih mendalam yang berdampak pada kesehatan otak.

“Saya pernah membaca penelitian yang memeriksa kondisi otak orang yang patah hati dengan Functional Magnetic Resonance Imaging. Mereka diberi foto mantan atau pasangan yang telah mangkat, lalu disodori soal matematika sederhana. Hasilnya, sebagian besar dari mereka salah menjawab. Mereka susah fokus,” Arief menukas.

Penyakit Psikis Atau Fisik?

Patah hati menyerang ventral tegmental yakni, bagian otak yang bertugas memotivasi dan menumbuhkan hawa romantis. Patah hati juga berdampak pada nucleus accumbens dan korteks orbitofrontal, otak bagian depan yang berhubungan dengan fungsi keinginan dan adiksi. Bagian lain yang terdampak, kata Arief, korteks insular dan anterior cingulate yang berkaitan dengan rasa sakit dan panik. Jatuh cinta dan patah hati membuat bagian-bagian otak mengalami perubahan fungsi.

“Kortisol yang meninggi dalam jangka panjang merusak sel-sel otak. Kondisi ini membuat otot bengkak, dada sesak, leher terasa kaku, dan akhirnya sistem kekebalan tubuh menurun,” ulas dia. Pertanyaan yang kemudian muncul, patah hati penyakit fisik atau psikis? “Patah hati itu kondisi psikis yang bisa berdampak pada penyakit fisik. Jika dampaknya ke organ dalam, sebaiknya pasien dibawa ke dokter spesialis penyakit dalam. Kalau tidak berdampak ke kesehatan fisik, silakan konsultasi dengan psikiater atau psikolog,” Arief menambahkan.

Jika patah hati menurunkan kesehatan fisik, biasanya dokter spesialis penyakit dalam akan bekerja sama dengan psikiater dan psikolog agar pasien mendapat penanganan yang komprehensif. Saat patah hati menindih, pikirkan jantung Anda. Mereka yang patah hati berisiko mengalami penumpukan plak di pembuluh darah jantung.

“Biasanya, mereka yang patah hati malas beraktivitas, makan banyak dan menunya asal-asalan, melampiaskan kekecewaan bersama alkohol dan tembakau. Kalau sudah begini, jantung taruhannya. Segera move on. Cobalah berpikir positif. Tetap jalani pola hidup sehat. Durasi tidur harus dijaga 6 sampai 8 jam per hari. Ini penting untuk menekan produksi hormon kortisol di masa-masa kelam. Jika dada terasa nyeri, segera cek ke dokter,” pungkasnya.

(wyn)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor : Wayan Diananto