Ketika Stres Menjelma Menjadi Hipertensi, Depresi, hingga Strok

Redaksi | 10 September 2019 | 21:15 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Ladies, makin tinggi jabatan di kantor, makin besar tunjangan, gaji pokok, dan fasilitas yang Anda dapat. Semua kenyamanan dan fasilitas itu ada harganya. Tekanan yang Anda rasakan terjadi lebih sering. Tekanan yang menindih acap kali membuat hati dan pikiran mendidih. Kondisi ini berujung pada stres Terungkap fakta, wanita lebih rentan terkena stres ketimbang pria. Anda patut mewaspadai kondisi ini. Stres mulanya penyakit kejiwaan. Jika dibiarkan, ia bisa “menyenggol” jantung, tekanan darah, sistem pencernaan, dan organ vital lainnya. Kok bisa?

Psikolog Liza Marielly Djaprie, M.Si, Psi, SC menjabarkan stres sebagai kondisi yang muncul setelah individu berinteraksi dengan lingkungan, lalu ia merasakan adanya kesenjangan (baik nyata maupun tidak) antara tuntutan lingkungan dan kapasitasnya. Stres tidak datang tiba-tiba. Ia menyerang melalui proses yang disebut cognitive appraisal.

“Cognitive appraisal adalah proses yang terjadi saat individu melakukan penilaian atas dasar dua faktor. Pertama, apakah tuntutan yang ada mengancam dirinya? Kedua, seberapa besar sumber daya yang ia punya untuk mengatasi ancaman itu?” terang Liza.

Proses ini memegang peranan penting dalam pembentukan stres pada individu dan terjadi hanya ketika telah ada interaksi antara individu dan lingkungan. Ketika keadaan seolah menyerang, inividu mengalami general adaptation syndrome, sindrom umum saat dihadapkan pada stres. Sindrom ini terdiri dari tiga tahap yakni:

Tahap peringatan. Di tahap ini terjadi pelepasan hormon yang tiba-tiba oleh sistem endokrin. Pelepasan ditandai tekanan darah turun drastis, kemudian naik secara cepat. Akhir tahap ini umumnya ditandai keadaan biologis individu yang tiba-tiba “siap perang” atau dalam bahasa sehari-hari “senggol bacok”, untuk mengatasi situasi yang dirasa mengancam. “Tentu saja, fisik individu tidak mampu menahan kondisi ini untuk jangka waktu panjang. Pada kasus ekstrim, bisa mengakibatkan strok atau koma,” Liza mengingatkan.

Tahap resistan. Ketika situasi yang mengancam dinilai tidak cukup parah maka (biasanya) individu beradaptasi dengan situasi itu. Momen ini ditandai dengan tekanan darah yang perlahan menurun namun tetap berada di atas rata-rata normal. Individu dapat saja bertahan lama di tahap ini. Namun, lambat laun muncul diseases of adaptation. Individu mulai diserang berbagai masalah kesehatan seperti asma, ginjal, dan hipertensi.

Tahap kelelahan. “Individu pada tahap ini memiliki sistem imunitas dan level energi sangat rendah. Melorotnya daya tahan jika tak segera diatasi, membuat orang itu rentan mengalami kerusakan pada organ internal atau terserang penyakit kronis. Dan jika tak segera ditangani secara tepat, individu berpotensi meninggal dunia,” papar dia.

tahap-tahap itu, tergambar jelas bahwa stres bisa bermetamorfosis menjadi gangguan fisiologis. Mulai dari gangguan kelas ringan seperti pegal, cepat lelah, nyeri otot-sendi, gangguan kardiovaskular, peningkatan kadar kolesterol serta gula darah, hingga gangguan saluran pencernaan. Selain itu, stres memicu efek psikososial. Liza mengulas ada dua efek psikososial. “Pertama, kognitif. Stres memicu penurunan fungsi kognitif seperti gampang lupa namun pada kasus tertentu dapat pula meningkatkan kemampuan memori individu. Saking tertekannya, ia berupaya mengingat apa pun yang penting dan berhasil. Kedua, emosi. Berbagai bentuk emosi sering menyertai stres. Ketakutan merupakan bentuk emosi individu yang paling umum,” Liza menerangkan.

Bentuk emosi lain yang sering dijumpai pada orang stres adalah sedih, marah, dan yang paling berbahaya, depresi. Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai perasaan sedih dan putus asa berlebihan. Penderita kemudian kehilangan minat atau gairah akan aktivitas sehari-hari. Umumnya, depresi diikuti gejala susah tidur, kehilangan nafsu makan, serta gangguan kesehatan lainnya. Beberapa penderita bahkan berkeinginan bunuh diri karena tidak mampu melihat alternatif lain yang lebih baik daripada mengakhiri penderitaan.

Meski demikian, tidak semua stres berdampak buruk. “Eustress misalnya, bentuk stres yang membawa keuntungan dan bersifat konstruktif. Contohnya, target. Itu membebani namun membuat individu bersemangat mengejar mimpi. Bayangkan jika hidup tanpa target dan tujuan,” pungkas dia.

 

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi