Asal Mula Budi Anduk Memakai Kata "Handuk" Sebagai Nama Panggung

Administrator | 11 Januari 2016 | 15:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Budi Anduk meninggal dunia pada Senin 11 Januari 2016. Artikel ini menampilkan profil Budi Anduk ketika pertama kali tampil di Tabloid Bintang Indonesia, terbitan Minggu kedua Desember 2008.


Di Patrio juga, embel-embel "Handuk" melekat di belakang nama Budi. "Saya kan orangnya mudah berkeringat. Jadi supaya tidak ke mana-mana itu keringat, saya selalu bawa handuk di leher. Karena itu saya dipanggil Budi Handuk," terang Budi Anduk.

Sebelum menjadi kru Patrio, kehidupan Budi tidak menentu. Budi mengaku menyia-nyiakan masa mudanya.

"Waktu kecil saya sama seperti anak lainnya, dibilang bangor nggak tapi dableknya, minta ampun," aku Budi, yang pernah mendukung sinetron Cape Deh dan Tulalit ini. Sifat dablek Budi Anduk bawa hingga remaja.

"Bukannya kerja, malah nyantai. Saya banyak menganggur, banyak nggak punya duitnya, hahaha. Malah Emak yang kerja. Makan atau mau apa minta sama Emak. Makanya sekarang saya sayang banget sama Emak. Merasa sudah merepotkan emak," tutur Budi.

Beruntung timbul penyesalan di hati Budi. Sekitar 1991, Budi mengubah diri, terutama sifatnya. Budi Anduk ingin lebih bertanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. "Tahun 1991-an berpikir, ingin juga kerja. Selain itu ada beban juga, apalagi keluarga sudah pindah ke Bekasi semua. Saya sendirian harus survive, harus hidup. Sayangnya  kepikiran setelah saya dewasa. Harusnya 'kan dari muda saya sudah sadar," papar Budi Anduk. Penyesalan Budi Anduk belum terlambat. "Untuk menebus dosa sama Emak, sekarang Emak ikut saya. Saya yang mengurus Emak. Selama ini saya menyusahkan Emak," kata Budi Anduk.
 
Untuk bertahan hidup Budi Anduk melakukan apa saja, termasuk membantu penjual gorengan di sekolah di daerah Budi tinggal. "Kebetulan penjaga sekolahnya dagang. Saya bantu-bantu di sana, menggoreng bakwan, mencuci piring, gelas, kadang 2 bak, kadang 1 bak. Nanti saya boleh makan bakwannya juga. Saya juga dikasih nasi untuk makan. Tinggal beli tempe dan sambal, saya sudah bisa makan," cerita Budi Anduk. Mengantongi uang 5 ribu sudah membuat Budi Anduk sumringah.

Tidak hanya membantu berjualan, Budi Anduk juga membantu menjaga sekolah itu. "Tidak jarang saya tidur di sekolah. Kadang di gudang, kadang tidur di kelas," kenang Budi Anduk. Pengalaman pahit memang tidak mengenakkan, tapi terkadang justru menjadi guru yang paling berharga untuk seseorang, seperti Budi Anduk. "Yang namanya pahit, saya sudah mengalami. Susah makan juga sudah saya alami. Makanya perubahan ini sangat saya syukuri. Telat nggak telat, karena saya baru mulai kemarin," ujar Budi Anduk.

(bis/ray)

 

Penulis : Administrator
Editor : Administrator