[RESENSI FILM] London Love Story: Secangkir Cerita Bercampur Racun Cinta

Wayan Diananto | 20 Februari 2016 | 17:24 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Menyaksikan film ini, seperti mengunjungi kedai film. Kita memesan secangkir cerita anak manusia.

Lalu, barista Tisa TS menghidangkan secangkir cerita yang di dalamnya ditaburi racun cinta. Seteguk dua teguk membuat kita melayang.

Terlalu banyak racun membuat sendi ketegaran kaku dan perlahan, hati lumpuh oleh galaunya cinta Tisa. Siapkah Anda?

Semua ini karena Magic Hour. Film kedua Michelle ini menghipnotis 856 ribu orang. Merasa menemukan formula magic, Screenplay Films mempertemukan Dimas Anggara, Michelle Ziudith, Tisa TS, dan sineas Asep Kusnidar lagi dalam desain produksi yang lebih mewah.

Lokasi syuting berpindah ke London. Dikisahkan, Dave (Dimas) sepulang dari pesta mendapati seorang cewek berdiri di atas jembatan. Dalam kondisi depresi, cewek yang kemudian diketahui bernama Adelle (Adila) ini hendak bunuh diri.

Malam itu, Dave meyakinkan Adelle untuk tidak mengakhiri hidup. Luluh oleh bujukan Dave, Adelle kemudian menginap beberapa hari di apartemen Dave. Ia menghubungi temannya, Bima (Dion), untuk meminjam ponsel. Bima sendiri sedang berupaya menaklukkkan hati Caramel (Michelle).

Trauma cinta masa lalu membuatnya enggan membuka hati. Ibu Caramel (Irene) terus mengirim surat-surat dari mantan Caramel. Sang mantan berupaya menjelaskan sesuatu yang tak ingin didengar Caramel.

Kuncinya terletak pada surat-surat yang terus dan terus dikirim mantan. Sampai surat itu dibuka dan sebuah pertemuan tak terduga terjadi, film ini terus menyajikan perputaran kesalahpahaman yang sebenarnya, tidak harus terbawa sampai di London.

Film ini menempatkan London sebagai latar. Ia tak memberi arti yang menyatukan para karakter dengan naskah yang semestinya menjadi jantung cerita ini.

Naskah mengutak-atik cinta yang melibatkan empat hati. Karena rumit muncullah petuah-petuah yang jadi “racun” bagi penonton. “Racun” itu membuat remaja kelepek-kelepek.

Formulanya tidak jauh beda dari Magic Hour. Intinya, konflik tetap dipegang Michelle dan Dimas. Karakter pendukung diganti agar tidak Magic Hour banget.

Ending dan konflik dibuat lebih beda untuk melepaskan produk kedua Screenplay Films ini dari bayang-bayang Magic Hour. Jujur, konflik London lebih enteng daripada Magic.    

Karenanya, kami berpikir, konflik seperti ini harus banget dibawa ke London?

Meski demikian, bukan berarti film ini tanpa kelebihan. Petuah-petuah cinta Tisa tetap menusuk sanubari. Dan chemistry Dimas-Michelle semakin nendang.

Michelle di beberapa adegan tampak emosional dan hanyut dalam karakter Caramel. Jika konsisten tampil apik, bukan tidak mungkin Michelle akan jadi ikon pop serta jaminan box office di masa mendatang.

(wyn/gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor : Wayan Diananto