[RESENSI FILM] Eye in the Sky: Korban Pertama Perang adalah Hati Nurani

Wayan Diananto | 22 April 2016 | 16:45 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Dalam perang, korban pertama adalah kebenaran. Itulah sepenggal kalimat yang membuka Eye in the Sky.

Lalu, kita dihadapkan pada kenyataan hidup bernama susah. Untuk menyambung nyawa, Musa Mo'Allim (Armaan) menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang tambal ban.

Istrinya, Fatima Mo'allim (Faisa) menopang ekonomi keluarga dengan membuat roti panggang. Putri mereka, Alia (Aisha) menjajakan roti itu di pasar.

Di pasar itu, ada rumah berpagar semen. Rumah dengan beberapa bilik itu rupanya dijadikan tempat pertemuan antara Susan Danford (Lex King) dengan sekelompok terduga teroris.

Aktivitas Susan diam-diam diawasi Inggris. Jenderal Frank Benson (Alan) berkoordinasi dengan Kolonel Katherine Powell (Helen) untuk melakukan penyerangan dari udara. Katherine menginstruksikan Sersan Mike Gleeson (Carl) dan Carrie Berson (Phoebe) untuk menyiapkan senjata.

Di jalur darat, Katherine meminta Jama Farah (Barkhad) dan Damisi (Ebby Weyime) untuk mengirim mengawasi area pasar. Kamera berbentuk serangga itu terbang, lalu menyusup ke rumah.

Masalahnya, saat strategi penyerangan telah matang, Alia berada persis di luar pagar rumah terduga teroris untuk jualan roti. Jika rumah itu diledakan dan menewaskan bocah tak bersalah, dunia akan berbalik mengecam Inggris. Inilah dilema yang membuat penonton turut berpikir.

Eye seperti wanita cantik dengan banyak daya tarik. Daya tarik pertama, penampilan peraih Oscar, Helen Mirren yang tampil dengan emosi konsisten lalu mengirim emosi itu kepada penonton. Aktingnya mengondisikan saya sebagai penonton merasa gemas.

Gemas terhadap prosedur kenegaraan yang berbelit. Gemas menanti keputusan menteri yang main aman dan plintat-plintut. Gemas dengan anak buah yang “maju mundur cantik” dan mengulur waktu. Gemas dengan baterai kamera pengintai yang habis sehingga kita tidak bisa lagi mengawasi aktivitas di rumah terduga teroris. Semua jadi kacau!

Kedua, kecerdasan Gavin menjaga ketegangan dengan cara sederhana. Teknik penceritaan film ini seperti seseorang yang melakukan “buying time” ke kubu pihak seberang. Justru ini yang bikin deg-degan. Ia mengondisikan penonton bingung. Bukan bingung karena alurnya gajebo (gak jelas bo'-red).

Melainkan, bingung karena dihadapankan kepada dua pilihan. Menyelamatkan anak kecil tak berdosa dengan konsekuensi para teroris melenggang bebas di mal. Atau meluluhlantakan sarang teroris dan membiarkan anak kecil terkapar tanpa nyawa.

Fokus film ini bukan siapa menang siapa kalah. Sesuai dengan kalimat yang dijadikan dasar film ini, korban pertama perang adalah kebenaran.

Sineas Gavin dan Guy menerjemahkan premis mulia itu menjadi gugatan moral. Perang yang biasanya tampak akbar di layar lebar dibuat menjadi sangat spesifik dengan pendekatan sipil, pemerintahan, dan militer.

Hasilnya, film dengan pola tutur yang fokus. Gambar-gambar bidikan Haris Zambarloukos efektif mengantarkan cerita. Pergerakannya sepintas memang gitu-gitu aja.

Rumah terduga teroris, rumah Alia, kontor Katherine, dan ruang pertemuan Jenderal Frank. Bolak-balik di empat tempat itu sampai kusut. Memang hanya itulah yang dibutuhkan agar cerita ini hidup.

Sebuah cerita yang membuat kita berpikir bahwa sah-sah saja jika kita menyebut kebenaran sebagai korban pertama perang. Namun, saya lebih senang menyebut korban pertama perang adalah hati nurani. Perhatikan wajah setiap karakter setelah aksi penyergapan terjadi.

Ada yang menangis. Ada yang termangu ketika menyetir mobil. Ada yang beretorika dengan mengatakan, “Kamu telah mengerjakan tugas dengan baik. Pulanglah dan istirahatlah.

” Ada yang termenung di ruang meeting dengan mata berkaca. Ada pula yang keluar ruangan dengan langkah berat. Adakah bahagia dan kelegaan di sana?

Pemain    : Helen Mirren, Armaan Haggio, Aisha Takow, Faisa Hassan, Alan Rickman, Phoebe Fox, Carl Beukes, Barkhad Abdi
Produser    : Ged Doherty, Colin Firth, David Lancaster
Sutradara    : Gavin Hood
Penulis    : Guy HIbbert
Produksi    : Entertainment One Features
Durasi    : 1 jam, 42 menit

 

(wyn/gur)

 

Foto-foto: Dok. Entertainment One Features

Penulis : Wayan Diananto
Editor : Wayan Diananto