Eksistensi di Media Sosial dan Risiko Melakukan "Insta Lie"

Wida Kriswanti | 11 Maret 2017 | 07:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Cukup mudah memahami istilah “Insta Lie” yang mulai populer sejak tahun 2015 ini. Terdiri dari dua kata, yaitu Insta yang merupakan kependekan dari Instagram dan lie yang berarti bohong.

Secara sederhana Insta lie bisa kita maknai sebagai kebohongan di Instagram. Secara lebih luas, kebohongan di media sosial. Tidak hanya dalam bentuk status yang ditulis, tapi juga foto dan video yang diunggah.  

Beberapa waktu belakangan, kesadaran orang akan fenomena Insta lie semakin meningkat. Dunia psikologi pun semakin banyak mengupas hal ini dan bahkan memberitahu kita cara mengenalinya. Hingga cukup mudah saat ini bagi kita untuk menilai—atau bahkan menghakimi—apakah sesuatu yang ditampilkan di media sosial itu real atau fake (palsu), walau tetap tidak bisa benar-benar 100 persen yakin.  

Tentu yang dibahas di sini bukanlah akun media sosial perusahaan atau bisnis yang sejatinya memang akan mengemas cantik media sosial selayaknya tampilan di majalah agar laris manis jualannya. Melainkan akun-akun media sosial orang biasa atau kebanyakan. Minimal, bukan figur publik. Mereka bisa saja teman-teman kita di Facebook, Instagram, atau Path yang memang banyak lebih mengakomodir Insta lie.

Psikolog klinis dewasa Anna Margaretha Dauhan menjelaskan, terjadinya fenomena Insta lie, tidak lain karena adanya dorongan pada kebanyakan orang untuk dipersepsi positif dan diterima oleh orang lain.

“Untuk beberapa orang, kebutuhan yang mendasari juga bisa saja kebutuhan untuk diakui atau dihargai orang lain,” kata Anna.

“Dalam beberapa kasus, hal ini juga didasari oleh perasaan 'I am not good enough', sehingga perlu menampilkan hal yang berbeda dari kenyataan yang sebenarnya,” lanjutnya.

Bukan sebuah perasaan yang aneh atau salah. Dijelaskan Anna, kebutuhan mendapatkan pengakuan sebenarnya kebutuhan dasar yang sudah ada di setiap orang dan sudah ada sejak dulu kala. Hanya media dan bentuk penyalurannya saja yang berbeda-beda.

Pada era media sosial, kemudahan orang lain memberikan tanggapan atau bereaksi dengan cepatlah yang membuat kebutuhan semacam ini sebaiknya dikendalikan, kecuali siap menjadi korban perundungan karena kepalsuannya terlihat nyata. 

Walau ketika yang terjadi sebaliknya pun sama mengerikan. Saat banyak orang terpesona dengan apa yang kita unggah, salah satu tanda memberi tanda like pada setiap unggahan, akan menyebabkan candu.

“Apabila ada feedback yang didapat berupa jumlah follower atau like yang meningkat, maka hanya akan memperkuat perilaku berbohong di media sosial karena ada respons positif yang diinginkan itu,” terang Anna.

 

(wida/gur)

Penulis : Wida Kriswanti
Editor : Wida Kriswanti