Mengapa Perceraian Sahabat Jadi Kabar Buruk Bagi Rumah Tangga Anda?

Redaksi | 2 Oktober 2021 | 16:00 WIB

Perceraian rasanya mirip dengan pernikahan. Kalau selama ini biasanya cuma dikenal musim kawin, akhir-akhir ini malah tak henti-hentinya berita perceraian merebak. Bukan hanya para selebriti, tapi juga banyak kalangan biasa mengalami. Bedanya, kabar mereka tak diekspos keluar. Mereka juga tak merasa perlu mengadakan konferensi pers.
Kendati bukan Anda yang mengalami, waspada tetap diperlukan. Masalahnya perceraian bukan hanya berakibat pada keluarga mereka saja -- anak-anak dan keluarga -- tapi juga teman dan sahabat dekat. Bayangkan kalau Anda terbiasa main dengan pasangan suami-istri itu sejak kuliah. Begitu melihat hubungan mereka tak berlangsung baik, bisa runyam. Anda tanpa disadari akan membela salah satu di antara mereka. Parahnya kalau Anda dan pasangan nyatanya mengambil pihak yang berbeda. Wah, bisa-bisa pertengkaran mulai merambat ke keluarga Anda. Tak percaya?

Pernikahan sahabat di ambang kehancuran
Pasangan yang tampak mesra ketika pacaran bukan jaminan bisa merajut rumah tangga sampai akhir hayat. Demikian pula waktu pacaran yang relatif lama tak bisa menjamin langgengnya ikatan pernikahan. Membina keluarga butuh usaha dan kerja keras. Di dalamnya terdapat beragam proses, dari menikah, beradaptasi dengan kebiasaan pasangan, menangani rumah, tagihan, hubungan dengan keluarga masing-masing, belum lagi anak. Banyak faktor yang bisa jadi penyebab retaknya rumah tangga. Tergantung pada pasangan itu sendiri, apakah mampu mengatasi atau tidak.

TABLOIDBINTANG.COM - Mungkin Anda pernah sesekali melihat-lihat album foto lama. Berapa banyak teman-teman Anda yang berhasil mempertahankan bahtera rumah tangganya? Berapa banyak yang pada akhirnya harus menyerah pada keadaan? Sedih rasanya melihat pasangan yang dianggap mesra, bahkan banyak dicemburui, nyatanya hanya bisa bertahan selama 1,5 tahun. Yang lebih sulit dihadapi, akhir-akhir ini perceraian sudah seperti epidemi. Banyak yang memilih bercerai ketimbang mencoba bertahan. 

"Banyak juga pasangan yang memutuskan menikah lantaran teman-teman mereka melakukannya. Lalu mereka punya anak dengan alasan serupa. Jadi tak heran kalau akhirnya mereka memilih bercerai gara-gara melihat teman-teman mereka," papar psikolog Susan Quilliam. "Makanya penting diingat, hubungan asmara mestinya lebih kuat dari hubungan persahabatan." Tapi ini justru yang biasanya terlupakan. Kalau sahabat Anda curhat dan meminta dukungan, tentu Anda tak akan mengabaikannya. Tapi kalau sampai berhari-hari dan menelantarkan keluarga Anda sendiri, apa jadinya? Wah, pasangan bisa jadi tak bisa menolerir. Bukan saja protes melayang, tapi adu mulut tak terelakkan.

Mulanya pasangan bisa memahami kalau Anda dibutuhkan sahabat. Tapi sebagai teman main, pasangan Anda menyediakan diri sebagai tempat curhat pasangan si sahabat itu. Anda dan pasangan masing-masing mendengar versi yang berbeda. Lama kelamaan keributan mulai terjadi. "Kalau Anda berdua dekat dengan pasangan itu, bukan tak mungkin masalah mereka terbawa ke dalam keluarga Anda," tegas Quilliam. "Cobalah memposisikan diri sebagai konselor. Lihat masalah sebenarnya terlepas dari orang yang melakukannya. Tak mudah memang, tapi layak dicoba."

Kehadiran anak, kebahagiaan tersendiri. Namun kalau tak bisa mengelolanya dengan baik justru jadi pemicu masalah rumah tangga. Bila pasangan belum dewasa dan kaget dengan perubahan ini, hal-hal tak diinginkan bisa terjadi. Merasa terabaikan lantaran pasangannya lebih memperhatikan si jabang bayi bisa menimbulkan kecemburuan. Si ayah mencemburui si kecil? Mungkin saja terjadi, jika si ibu kurang bijak melibatkan ayah dalam merawat anak. Ayah merasa tersisih dan sendirian. Sudah begitu si ibu kurang memperhatikan penampilan setelah punya anak. Padahal untuk membina cinta dan kasih sayang dari pasangan, perlu pupuk. Nah, kalau tidak diberi pupuk yang tepat, bagaimana tanah itu akan subur dan berbuah manis?

Lakukan evaluasi dan bekali diri
"Bubarnya pernikahan seorang sahabat akan bisa menunjukkan kekeliruan yang dimiliki Anda dan pasangan. Sekaligus jadi kesempatan emas bagi Anda untuk melakukan evaluasi," ujar Quilliam mengingatkan. Yang penting, kenali perbedaannya. Artinya, meski Anda menghadapi permasalahan yang sama, atasi dengan cara berbeda. Mereka boleh mengajukan cerai, tapi Anda bersama pasangan mencoba mencari jalan keluar yang terbaik.

"Tak ada salahnya berbangga diri atas apa yang telah diraih selama ini," saran Quilliam. "Jika perlu, daftar 5 hal yang Anda lakukan dengan benar sebelum mendiskusikan kesalahan yang dibuat pasangan. Sandingkan yang negatif dengan hal positif," tambah Quilliam. Situasi yang dialami pasangan lain mungkin mirip dengan problem Anda berdua. Tapi Anda tak perlu mencontoh apa yang mereka lakukan dalam mengatasi permasalahan itu. Anda beserta pasangan, 2 orang yang berbeda dengan pasangan tadi. Masing-masing pribadi akan berbeda dalam bereaksi menghadapi suatu situasi.

Quilliam mengingatkan, ada waktu-waktu tertentu suatu ikatan pernikahan mengalami krisis. Setelah hangatnya cinta di awal pernikahan, sebelum menguatnya ikatan emosi kedua belah pihak, itulah saat-saat sulit. "Bayangkan seperti Anda melakukan perjalanan menuju Kutub Selatan. Anda tahu berat badan akan turun. Itu sebabnya perlu makan banyak sebagai persiapan. Penuhi rumah tangga Anda dengan banyak hal positif dan menyenangkan. Dan, ingatlah itu kala Anda mengalami saat-saat sulit."

Keterbukaan dengan pasangan
Keterbukaan jadi bagian penting. Bayangkan kalau pasangan sahabat Anda meninggalkan rumah demi orang lain. Sedih 'kan? Tapi lebih sedih lagi tatkala sadar pasangan Anda telah mengetahui hal ini sejak lama, tapi membiarkannya terjadi. Kekecewaan bisa membuat kepala Anda tak bisa berpikir secara jernih. Anda bisa saja berpikir, jangan-jangan pasangan juga bertindak yang sama, punya orang lain di luar sana. Wah, bisa runyam jadinya. Sekali pasangan terlambat pulang, terjadi keributan. 

Atau sebaliknya. Anda diminta sahabat merahasiakan perihal perselingkuhannya. Begitu berita ini terungkap dan mereka bercerai, baru Anda terus terang pada pasangan. Kalau si dia bisa menerima, tak jadi soal. Tapi kalau tidak? Anda bisa dituduh menutup-nutupi perbuatan tercela, bahkan dianggap membantu merusak rumah tangga. Sebagai pasangan suami-istri, memang keterbukaan itu perlu. Bagaimana menghadapi masalah semacam ini, sebenarnya tergantung dari pribadi pasangan dan Anda. Kalau memang bisa dipercaya, tak salah kiranya kalau menyampaikan berita itu. Tapi kalau Anda ragu, lebih baik tutup mulut. Sambil mencoba "meluruskan" jalan sahabat yang sedang dimabuk kepayang. Ingatkan dia untuk bisa menjaga kepercayaan pasangan dan jangan sampai tergelincir di tengah jalan. Itu gunanya sahabat, bukan?

Pasca perceraian

Usai proses perceraian, persahabatan Anda masih akan terus berlanjut. Ini saatnya Anda mesti hati-hati. Sekali waktu Anda ingin mencarikan jodoh untuknya. Di lain pihak, pasangan tak setuju. Ia tak ingin Anda terlibat lebih dalam. Kalau sudah begini, lebih baik ambil jalan tengah. Lanjutkan persahabatan Anda dengannya. Sering-seringlah mengajaknya pergi ramai-ramai. "Hindari pergi secara berpasangan. Lebih baik ramai-ramai tanpa harus perduli dengan jumlah rombongan," cetus Quilliam. Siapa tahu ia akan menemukan jodohnya sendiri tanpa bantuan secara langsung. Anda bisa menjaga perasaan pasangan dan lebih aman. 

Kalau sahabat Anda sudah menemukan pasangan, bukan berarti segalanya lebih mudah. Sesekali kalau Anda punya acara bepergian ke luar kota, misalnya. Bukan tak mungkin sahabat Anda mengajak serta pacar barunya. Tak nyaman mengingat Anda mengenal si mantan suami dengan baik. Bisa saja terjadi, Anda jadi sedikit ketus terhadap pacar baru sahabat Anda. Apa itu salahnya? "Ingatlah, bukan salahnya terjadi perceraian. Mereka toh pacaran setelah kasus perceraian selesai. Benar, Anda awalnya akan membenci sang pacar, tapi cobalah memberinya kesempatan," saran Quilliam.

Apa yang terjadi pada pasangan lain, mungkin saja terjadi pula pada Anda. Pelajari apa yang bisa dilakukan agar jangan sampai terulang kekeliruan serupa. Belajar bukan hanya lewat pengalaman sendiri, tapi juga lewat pengalaman orang lain.

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi