Hindari Menjadi Orang Tua yang Sok Tahu dan Sok Asyik

aura.co.id | 21 November 2020 | 18:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Apakah Anda termasuk satu dari sekian banyak orang tua yang merasa tidak didengarkan anak?

Banyak masukan diberikan, tapi tidak memberi hasil yang cukup signifikan. Dilarang ini-itu, membangkang. Diberi kebebasan, melunjak. Dan lain sebagainya.

Bisa jadi, ada sesuatu yang “salah” dari cara berkomunikasi Anda.

Orang tua “sok tahu”

Berpegang pada prinsip kuno “orang tua selalu benar”, bahwa orang tua sudah makan banyak asam garam kehidupan dan bahwa semua yang orang tua lakukan adalah demi kebaikan anak, muncul tipe orang tua “sok tahu”.

“Sering terjadi kesalahan karena komunikasi (pada orang tua model ini) lebih kepada satu arah, orang tua kepada anaknya.” ujar Anggia Chrisanti, konselor dan terapis DEPTH (deep psych tapping technique) di Biro Konsultasi Psikologi Westaria (@ig_giadc).

“Ini akan membuat orang tua cenderung bicara dengan gaya serius kepada anak dengan posisi orang tua lebih tinggi dari anak. Memberitahu, mengarahkan, menasihati, memerintah, tanpa atau kurang melihat kepentingan anak. Kalau sudah menganut paham seperti ini, akan sulit tercapai kesepahaman antara orang tua dan anak,” lanjutnya.

Dapat dibayangkan hasilnya seperti apa bila orang tua menerapkan gaya bicara serius tersebut. Andai omongan orang tua terpenuhi pun, lebih banyaknya dilakukan sebagai tuntutan atau bahkan tekanan.      

Orang tua “sok asyik”

Euforia orang tua “sok asyik” juga jangan dianggap sepele. Anggia mengamati, sekarang banyak bermunculan orang tua-orang tua yang berlebihan saat berkomunikasi dengan anak. Ini pun terjadi dalam posisi yang berat sebelah.

Namun, kebalikan dengan tipe pertama, di sini posisi anak lebih tinggi dari orang tua.

“Misalnya, dengan ikut-ikutan berkomunikasi dengan anak menggunakan bahasa-bahasa yang popular saat ini agar dianggap gaul oleh anak. Atau orang tua yang menjadi berlebihan dengan rasa ingin tahunya dan lalu mengintai status BBM, status Facebook atau kicauan anak di Twitter,” beber Anggia.

“Hal ini diperparah jika orang tua langsung bereaksi langsung di tempat tersebut--memberi komentar atau me-retweet yang membuatnya bisa dibaca atau dilihat siapapun, lengkap dengan gaya bahasa yang juga berlebihan atau dibuat-buat," sambungnya.

Dilandasi keinginan agar bisa masuk ke dunia anak, namun yang terjadi justru hal yang tidak diharapkan. Orang tua menjadi tidak punya wibawa, orang tua tidak patut disegani dan atau tidak layak dihormati.

Penulis : aura.co.id
Editor : aura.co.id