Bolehkah Penderita Skizofrenia Mengakses Media Sosial? (2)
TABLOIDBINTANG.COM - Skizofrenia muncul bukannya tanpa gejala. Namun gejala itu tidak hadir dalam bentuk perubahan fisik, melainkan perilakus. Misalnya, cenderung menarik diri, sangat sensitif khususnya terhadap kritik, mudah curiga terhadap orang lain, kaku dalam bersikap, introver, merasa tidak butuh orang lain dan ketika ada masalah tidak pandai menyampaikannya secara verbal kepada orang lain.
Tidak ada sindrom skizofrenia yang sifatnya tiba-tiba. Gejala-gejalanya bagaikan puzzle yang terhubung.
“Ada sejumlah perilaku 'abnormal' yang berkembang dan semestinya dicermati selama enam bulan (dulu). Sekarang sebulan, lalu disimpulkan,” lanjut Asmara.
Gejala skizofrenia itu muncul karena banyak faktor. Asmara menyebut setidaknya ada empat faktor pemicu, yakni:
1. Biologis yang meliputi genetik atau keturunan, usia pasien kali pertama mengalami disorder, serta tepat tidaknya dosis obat yang dikonsumsi.
2. Psikologis. Merupakan gejala negatif jika mengarah ke kerusakan otak secara struktural. Misalnya mengamuk, merasa mendapat bisikan atau sering berhalusinasi, dan seterusnya.
3. Psikososial-ekonomi. Apakah pasien mempunyai karier? Bagaimana ia berinteraksi dengan rekan kerja di kantor? Apakah gaji memudahkannya membeli obat? Adakah anggota keluarga yang mengajaknya beraktivitas selama di rumah?
4. Religi. Apakah pasien tawakal dan memahami ajaran agama termasuk pasrah?
Asmara mengumpamakan, “Empat faktor ini roda. Keempatnya berpengaruh. Kalau rajin mengonsumsi obat tetapi tidak punya pekerjaan, tidak punya sifat berserah diri, ya susah. Keempat faktor ini harus sinkron.” Penyandang skizofrenia tidak punya pantangan apa pun. Hanya, tidak dianjurkan beraktivitas dalam kesendirian termasuk dalam mengakses media sosial.
Mereka harus ditemani orang dekat yang aktif mengingatkan dengan lembut misalnya “hei, jangan melamun, ya” atau “hei, jangan serius banget nanti masuk ke dalam komputer, lo.” Aktivitas pasien “bercanda” dengan gawai atau mengembara ke lini masa pun mesti dibatasi.
“Menggunakan media sosial, 30 menit sehari cukup. Aturan durasi ini tidak hanya berlaku untuk mereka yang hidup dengan skizofrenia. Semua orang diharapkan tidak tenggelam dalam lini masa media sosial. Bagaimana pun, interaksi tatap muka tetap penting dan tidak tergantikan. Ingat pada dasarnya, manusia makhluk sosial. Bukan sekadar bersosialisasi lewat media sosial,” demikian Asmara mengakhiri perbincangan.
(wyn/gur)
-
Gaya Hidup
4 Trik Jitu Bikin Konten Horor di Platform Video Pendek
Vallesca SouisaMinggu, 6 Maret 2022 -
Gaya Hidup
Tanda-Tandanya Anda Harus “Berhenti” Sejenak Dari Media Sosial
Vallesca SouisaSelasa, 1 Maret 2022 -
Peristiwa
Telegram Down, Role Player Hingga Penonton Layangan Putus Heboh
Dewi MaharaniSelasa, 18 Januari 2022 -
Berita
Dari Konsultan Pajak hingga Jadi Musisi, Fergunaw Pemuda Segudang Bakat Miliki Beragam Profesi di Usia Muda!
RedaksiKamis, 30 Desember 2021 -
Berita
Viral Video TikTok Boneka Boba, Tembus 12 Juta Penonton!
Dewi MaharaniJumat, 12 November 2021 -
Berita
Kasus Soal Hoaks Sunny Dahye Hina Rakyat Indonesia Berlanjut ke Tahap Penyelidikan
SupriyantoRabu, 6 Oktober 2021 -
Berita
Jangan Terkecoh, Begini Cara Kerja Trending Topic di Twitter
Dewi C Rini (Anggota Perempuan Indonesia Satu)Sabtu, 11 September 2021 -
Peristiwa
2 Ibu Curi Susu Bayi Viral di Medsos, Bukan Pertama Kali Pencurian Terjadi Akibat Desakan Ekonomi
Maya K (Anggota Perempuan Indonesia Satu)Sabtu, 11 September 2021 -
Gaya Hidup
Seberapa Penting Engagement Instagram Bagi Bisnis Online?
RedaksiMinggu, 29 Agustus 2021