Bolehkah Penderita Skizofrenia Mengakses Media Sosial? (2)

Wayan Diananto | 11 Maret 2017 | 20:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Skizofrenia muncul bukannya tanpa gejala. Namun gejala itu tidak hadir dalam bentuk perubahan fisik, melainkan perilakus. Misalnya, cenderung menarik diri, sangat sensitif khususnya terhadap kritik, mudah curiga terhadap orang lain, kaku dalam bersikap, introver, merasa tidak butuh orang lain dan ketika ada masalah tidak pandai menyampaikannya secara verbal kepada orang lain.

Tidak ada sindrom skizofrenia yang sifatnya tiba-tiba. Gejala-gejalanya bagaikan puzzle yang terhubung.

“Ada sejumlah perilaku 'abnormal' yang berkembang dan semestinya dicermati selama enam bulan (dulu). Sekarang sebulan, lalu disimpulkan,” lanjut Asmara. 

Gejala skizofrenia itu muncul karena banyak faktor. Asmara menyebut setidaknya ada empat faktor pemicu, yakni:

1.    Biologis yang meliputi genetik atau keturunan, usia pasien kali pertama mengalami disorder, serta tepat tidaknya dosis obat yang dikonsumsi.

2.    Psikologis. Merupakan gejala negatif jika mengarah ke kerusakan otak secara struktural. Misalnya mengamuk, merasa mendapat bisikan atau sering berhalusinasi, dan seterusnya. 

3.    Psikososial-ekonomi. Apakah pasien mempunyai karier? Bagaimana ia berinteraksi dengan rekan kerja di kantor? Apakah gaji memudahkannya membeli obat? Adakah anggota keluarga yang mengajaknya beraktivitas selama di rumah? 

4.    Religi. Apakah pasien tawakal dan memahami ajaran agama termasuk pasrah?

Asmara mengumpamakan, “Empat faktor ini roda. Keempatnya berpengaruh. Kalau rajin mengonsumsi obat tetapi tidak punya pekerjaan, tidak punya sifat berserah diri, ya susah. Keempat faktor ini harus sinkron.” Penyandang skizofrenia tidak punya pantangan apa pun. Hanya, tidak dianjurkan beraktivitas dalam kesendirian termasuk dalam mengakses media sosial. 

Mereka harus ditemani orang dekat yang aktif mengingatkan dengan lembut misalnya “hei, jangan melamun, ya” atau “hei, jangan serius banget nanti masuk ke dalam komputer, lo.” Aktivitas pasien “bercanda” dengan gawai atau mengembara ke lini masa pun mesti dibatasi. 

“Menggunakan media sosial, 30 menit sehari cukup. Aturan durasi ini tidak hanya berlaku untuk mereka yang hidup dengan skizofrenia. Semua orang diharapkan tidak tenggelam dalam lini masa media sosial. Bagaimana pun, interaksi tatap muka tetap penting dan tidak tergantikan. Ingat pada dasarnya, manusia makhluk sosial. Bukan sekadar bersosialisasi lewat media sosial,” demikian Asmara mengakhiri perbincangan. 

 

(wyn/gur)

Penulis : Wayan Diananto
Editor : Wayan Diananto