IN MEMORIAM: Jojon (1947-2014), Pelawak yang Tahan Segala Zaman

Ade Irwansyah | 6 Maret 2014 | 13:12 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - DI tahun 1970-an namanya masih pakai ejaan lama: Djodjon. Ia memang pelawak yang mengawali karier di era tersebut.

Jojon dikenal lewat Jayakarta Group, kuartet lawak yang dibentuk pada tahun 1978 bersama Cahyono, U'uk, dan Johnny. Mereka tampil di tempat hiburan, seperti klub malam dan di acara hiburan televisi zaman dulu seperti Kamera Ria atau Aneka Ria Safari.

Di acara TV yang didominasi musik tersebut, lawak hanya jadi selingan. Kelompok lawak biasanya diberi waktu melawak 15-20 menit. Untuk itu, pelawak dituntut dalam waktu cepat menghibur, membuat penonton tertawa. Lawakan singkat di tengah acara musik itu pula yang membuat pelawak zaman itu kian mudah dikenal, termasuk Jojon dan grup Jayakarta-nya.

Dalam catatan buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 yang diterbitkan Tempo (1986), nama Djodjon atawa Jojon mulai di atas angin sejak tampil di acara tahun baru TVRI 1980. Sejak dulu, Jojon ya seperti gayanya melawak sekarang: bersikap dungu. Kesan itu makin tampak dengan gayanya bercelana komprang melewati perut disangga bretel dan kumis ala Charlie Chaplin.

Jojon tamat SMA di Bandung meski lahir di Jakarta, 5 Juni 1947 dengan nama asli Djuhri Masdjan. Di buku Apa & Siapa dikatakan, bila diajak bicara tentang masa kecilnya, mata Jojon berkaca-kaca. "udah, deh, ane nggak ceritain aje. pokoknya, sedih dan menderita." Mungkin karena masa kecil yang susah, Jojon menemukan pelarian dengan tertawa, dan pada gilirannya jadi komedian.

Cahyono, temannya melawak di Jayakarta Group, menyebutkan bahwa Jojon tampil dengan memanfaatkan seluruh kepolosan miliknya. "Ia lugu dan selalu tampil apa adanya. Karena itu, ia menjadi penting dalam grup kami," kata Cahyono.

Yang menggemari lawakan Jojon pasti hapal betul salah satu ciri khas Jojon yang bikin ketawa ketika memanggil nama Cahyono. Di sebuah artikel di Kompas tahun 2011, asal mulanya terjadi awal 1980-an saat Jayakarta menampilkan lakon "Romeo-Juliet" dalam lawakannya. Cahyono jadi sutradara, Jojon jadi Romeo, dan U'uk jadi Juliet. Melihat tampang Juliet yang berantakan, Jojon yang seperti anak kecil ketakutan memanggil sang sutradara, "Cahyonooo..." dengan melenggokkan bagian "noo...oo...oo"-nya. Tawa penonton mekedak. Dan sejak itu cara memanggil model begitu selalu mengundang tawa.    

Melawak bagi Jojon bukan hanya di panggung. Suatu subuh timbul isengnya. Ia ingin membangunkan seisi rumah dengan berteriak, "Kebakaran! Kebakaran! Bangun, bangun!" Semua bangun dengan panik, dan Jojon dengan tenang lalu berkata, "Lari-lari ke Monas, yuk"

Ada lagi cerita lain. Di tengah syuting sebuah film di tahun 1980-an, masyarakat berdesak-desakan ingin melihat Jojon. Seorang wanita hamil tiba-tiba menyeruak di antara kerumunan. Wanita itu tanpa malu-malu minta dicium Jojon. 'Wah, dia pasti ngidam. Ane perlu penuhi permintaannya," kata Jojon nakal. Ciuman kilat pun terjadi, dan Jojon lalu kabur dari kerumunan orang banyak.

***

Bertahun-tahun kemudian, Jojon masih eksis di dunia hiburan tanah air. Pelawak-pelawak seangkatannya, dari tahun 1970-an, sudah banyak yang berguguran. Entah karena meninggal atau memang industri hiburan tak lagi memerlukan mereka. Jojon lain. Ia relatif sehat dan bugar. Wajahnya kerap mengisi acara lawak reguler atau pun variety show di TV. Jojon juga kerap diminta mengisi acara sahur sebulan penuh selama Ramadhan di TV.                       

Apa rahasia Jojon terus bisa eksis dan tahan zaman?

Jojon lahir dari era lawakan berwujud grup. Selama bertahun-tahun, komedi berwujud grup lawak mendominasi TV. Jojon berjaya dengan Jayakarta Group-nya. Jojon bersinar dari grup lawak ini. Seperti banyak grup lawak lain, Jayakarta pun bubar. Personelnya kemudian sibuk sendiri-sendiri. Era Jayakarta lantas berganti grup lawak-lawak lain, mulai dari Bagito, Patrio, Cagur, Bajaj, dan entah apa lagi.

Zaman berganti, lawakan tak lagi mengandalkan grup. Setiap individu bisa melawak sendirian. Acara TV sejak beberapa tahun terakhir lebih senang mengumpulkan banyak pelawak dalam satu acara. Format begini sukses di antaranya lewat Opera Van Java yang menampilkan Parto dari Patrio maupun Sule yang jebolan Audisi Pelawak TPI (Api). Olga Syahputra pun tenar sebagai pelawak solo di era ini.

Nah, Jojon rupanya masih dianggap magnet yang masih mampu mengundang tawa hingga ia masih diajak di acara lawak atau variety show TV zaman sekarang.

Jojon menyadari benar panggung komedi akan terus berubah. Pelawak-pelawak muda dengan beragam gaya akan terus lahir. Hal ini disikapinya bijak. Jojon yang tetap eksis di tengah format lawak yang berubah tentu ada rahasianya.  

Rahasianya, Jojon pandai beradaptasi. Ia sadar sepenuhnya format komedi sekarang tak lagi ditentukan pelawak, melainkan dirancang tim kreatif acara TV. Untuk hal ini Jojon mungkin diharuskan menurunkan egonya sebagai pelawak senior. Tapi dengan cara ini pula toh ia tetap eksis. Apalagi sebagai senior pula, Jojon tetap menampilkan trade-mark-nya: celana komprang dan kumis Charlie Chaplin.  

Di penghujung hidupnya, Jojon tak sekadar melawak. Ia didapuk membintangi sinetron stripping Mak Ijah Pengen ke Mekah (SCTV). Ini satu lagi bukti di usia senjanya ia masih dipercaya untuk berkiprah.           

Hingga akhir hayatnya Jojon membuktikan sebagai pelawak yang tahan zaman. Hanya sedikit pelawak kita seperti dia. Kita akan selalu merindukan Jojon yang bercelana komprang dan berkumis Charlie Chaplin.

(ade/ade)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor : Ade Irwansyah