Ibu yang Baik Harus Rela Menjadi Budak dalam Keluarganya?

Redaksi | 29 Juli 2019 | 08:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Sejak melahirkan, seorang ibu dituntut mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Bagaimana ia menyusui, mengganti popok, memberi asupan makanan bergizi, pendeknya semua hal terbaik, demi anak-anak tercinta.

Tapi apakah itu menjadikan sosok ibu semacam budak bagi anak-anaknya?

Sudut pandang kontroversial tersebut disinggung Elisabeth Badinter dalam bukunya, Le Conflit: La Femme Et La Mère (The Conflict, The Woman and The Mother).

Coba saja perhatikan, sebagian besar ibu membawa-bawa rasa bersalah, utamanya setelah kembali bekerja pascamelahirkan. Kehadiran anak tentu berita membahagiakan, pengalaman yang tak terhingga rasanya.

Sehingga saat si ibu tak mampu menyusui sebagaimana dianjurkan, rasanya seperti berbuat dosa. Padahal sejak hamil, ibu sudah diajari bagaimana cara menyusui dengan benar. Tetap saja memberi ASI bukanlah hal mudah. Kadang malah menyusut setelah si ibu kembali bekerja 3 bulan kemudian. Itu baru usia anak beberapa bulan.

Ketika membesarkan anak, ingin demi kepraktisan, si ibu terpaksa memilih makanan padat made in pabrik. Kembali rasa bersalah muncul, akibat tak mampu memberikan yang terbaik bagi anak.

Elisabeth mengingatkan, wanita masa kini dibesarkan dalam budaya yang cenderung egois, mengutamakan kepentingan diri. Namun begitu menjadi ibu, segalanya luluh, ibu menempatkan anak di atas segala-galanya. Makanya konflik menjadi salah satu kata dalam judul buku Elisabeth.

Keadaan inilah yang membuat wanita merasa sengsara, bahkan membuat sebagian wanita tak ingin punya anak, sebagaimana terlihat dari rendahnya tingkat kelahiran di negara-negara Barat.

Elisabeth berpendapat, dewasa ini wanita sudah berlebihan dalam merawat anak-anak sehingga menjadi budak bagi anak-anaknya.

"Kita hidup 80-85 tahun. Dan anak-anak menyita 20-25 tahun dari jumlah tadi," kata ibu 3 anak dan nenek sejumlah cucu ini.

"Banyaknya wanita yang sangat bersalah jika tak bisa menyusui anak-anaknya sesuai anjuran, sama saja menciptakan model ibu yang harus berada di samping anaknya 24 jam setidaknya dalam kurun waktu 6 bulan. Model ini menghabisi bagian paling pribadi dari setiap ibu sebagai individu," keluh Elisabeth.

Pantas saja opini Elisabeth banyak diincar para kritikus. Edwige Antier tidak setuju dengan pendapat Elisabeth.

"Dia tidak tahu aspirasi wanita saat ini. Dia menyangkal motherhood. Bagi neofeminis seperti saya, jelas kalau wanita ingin punya kepuasan baik dalam karier maupun ketika menjadi ibu," tegas dokter anak ini.

Wanita masa kini cenderung kembali ke rumah dan jadi ibu rumah tangga yang baik. Amati saja berapa banyak yang memutuskan menikah muda dan fokus pada anak.

Sebaliknya, para pria hingga kini masih duduk nyaman di depan TV menikmati pertandingan sepak bola.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi sehingga wanita mau menerima bentuk perbudakan zaman modern seperti ini? Elisabeth bilang, krisis ekonomi salah satu alasan.

"Menjadi ibu sepertinya pilihan yang lebih baik ketimbang ketidakpastian di tempat kerja," cetus filsuf berumur 66 tahun ini.

Gerakan hijau dengan nilai-nilai kembali ke alam -- memberi ASI dan makanan bikinan sendiri -- menjadi alasan lain.  "Mungkin aneh, tapi pilihan saya jelas. Susu formula, makanan bayi instan, semuanya terkait erat dengan kebebasan wanita".

Tampaknya bukan pada tempatnya lagi mengkritisi wanita yang punya cara masing-masing dalam merawat dan mendidik anak-anaknya. Menjadi ibu pekerjaan paling menuntut yang harus dihadapi wanita.

Kalau melihat orang lain melakukannya berbeda dengan yang kita lakukan, cemooh atau kritik atau apa pun namanya langsung terlontar. Padahal tak seorang pun bisa menjadi ibu sempurna.

Tapi yang jelas, mereka kebanyakan melakukan pekerjaan ini dengan baik, dengan menempatkan semua pada prioritasnya masing-masing. Habiskan waktu untuk hal-hal yang lebih penting, termasuk kencan dengan pasangan atau berolahraga di pusat kebugaran.

Tak ada salahnya kok. Lebih baik anak menghadapi ibu yang bahagia dengan dirinya ketimbang berhadapan dengan ibu yang tidak bahagia lantaran merasa terbebani.

(ati / gur)

Penulis : Redaksi
Editor: Redaksi
Berita Terkait