Salahnya Anak Juga Salahnya Orang Tua, Benarkah?

Wida Kriswanti | 10 Agustus 2019 | 03:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - KETIKA anak membanggakan, orang tua dengan senang hati mengakui hal itu sebagai hasil bentukan mereka. Sebaliknya, ketika anak menunjukkan perilaku yang (dianggap) negatif, lingkungan yang dijadikan kambing hitam. Orang tua tetap merasa benar. Yakin, bukan Anda sendiri penyebabnya?

Memahami aturan main orang tua 

Anggia Chrisanti, konselor dan terapis DEPTH (deep psych tapping technique) dari Biro Konsultasi Psikologi Westaria, mengungkap adanya “aturan main” ketika menjadi orang tua. Hal ini perlu diketahui dan dipahami orang tua agar sepenuhnya sadar, apa yang terjadi pada anak, tidaklah bersumber dari yang lain kecuali mereka sendiri. “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya benar adanya,” buka Anggia. 

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar

Kalimat yang jelas mujarab. Oleh karenanya, dalam dunia anak, menjadi contoh atau teladan akan 100 persen lebih berhasil daripada menjadi penceramah bagi mereka. Anak-anak hanya akan “iya-iya” dan atau takut dengan apa yang disampaikan atau diceramahkan kepada mereka. Namun, apa yang mereka lihat, itulah yang akan mereka tiru. 

“Bagus jika yang mereka lihat adalah yang baik. Sayangnya, yang buruk pun akan dilihat dan akan mereka tiru,” ujar Anggia. 

Rumah adalah sekolah, setiap ibu adalah guru, ayah adalah kepala sekolahnya

Banyak kesalahan kita saat ini adalah karena merasa bahwa tugas pendidik dan pengembang anak adalah ibu saja. Sedangkan ayah, entah karena kesibukan atau karena merasa telah mencari nafkah, tanpa sengaja cuek dan tidak peduli. Ayah tidak terlibat dan melibatkan diri dalam pengasuhan dan pendidikan anak. 

“Ini salah besar,” tegas Anggia. “Karena hakikatnya setiap ibu adalah guru. Namun, ibu hanyalah guru pelaksana yang menjalankan tugasnya sesuai job description buatan ayah. Dan pekerjaan ibu sebagai guru ini pun harus selalu dalam pengawasan dan perbaikan dari ayah,” imbuhnya. 

Jadilah figur, bukan sosok

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan. Pahlawan, orang yang berjasa. Biasanya terkait pada kemerdekaan sebuah bangsa. Tidak pernah melihat mereka langsung, kecuali dalam gambar, foto, atau patung.

Namun, setiap bangsa, sampai kapan pun, harus dan akan tahu figur para pahlawan itu. Dan itulah yang terus-menerus diajarkan kepada kita. Tentang sikap kepahlawanan mereka, tentang keberanian mereka, tentang pengorbanan mereka. Dan kita (setiap bangsa) bukan hanya bisa hidup, melainkan bisa menjadi besar dengan meneladani figur mereka tanpa harus pernah melihat sosok mereka. 

“Inilah juga yang harus kita terapkan dalam sebuah keluarga. Bukan mengenai quantity time, melainkan quality time. Yaitu bagaimana waktu yang ada dapat berkualitas, sehingga anak dapat mengenal, memahami, mengagumi, mencintai, dan meneladani orang tua mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan,” kata Anggia.

“Bukan dengan memaksakan keberadaan kita sebagai sosok yang selalu bersama mereka, namun tidak punya arti apa-apa,” lanjutnya. 

Dosa yang menghantui

Banyak kegagalan dalam mengasuh anak terjadi bukan karena orang tua tidak tahu caranya. Apalagi orang tua-orang tua masa kini yang mungkin sudah kenyang atau mengenyangkan diri dengan segala teori parenting. Namun, tetap saja salah pada praktiknya. 

“Hal ini dikarenakan adanya dosa masa lalu yang menghantui,” bilang Anggia. 

Sadar (atau pada alam bawah sadar) benar bahwa kita sebagai orang tua telah telah banyak berbuat salah. Kesalahan-kesalahan di masa lalu, sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai manusia. Dosa dan kesalahan yang padahal telah ditutup rapat agar tidak tercium dan tidak terlihat orang lain.

Sayangnya, kekuatan alam bawah sadar (baca: dosa yang menghantui) lebih besar kekuatannya. Berpengaruh lebih dari 70 persen dalam setiap tindak-tanduk kita sebagai manusia juga sebagai orang tua yang dihadapkan pada situasi harus menjadi orang tua yang baik, figur yang baik, contoh yang baik.     

“Sayangnya, perasaan dosa ini justru sering mematahkan niat-niat baik, sehingga tanpa sadar kita sebetulnya sering takut, sering malu untuk menjadi manusia atau orang tua yang baik. Sadar bahwa kita bukan manusia yang baik, melainkan penuh salah dan dosa, yang merasa tidak pantas untuk menjadi teladan yang baik,” papar Anggia. 

Solusi 

Jika Anda merasa telah melakukan kesalahan sebagai orang tua, bukan berarti tidak ada jalan untuk memperbaiki. Selama Anda dan anak-anak bersama-sama, kesempatan selalu terbuka. “Masih dapat diperbaiki,” tegas Anggia. Caranya sebagai berikut:

- Menyelesaikan, menuntaskan, dan memaafkan masa lalu kita. Sebagai anak kepada orang tua kita. Sebagai diri kepada lingkungan kita. 

- Awali dengan meminta maaf yang paling tulus dari hati kepada anak-anak atas apa yang telah kita lakukan kepada mereka. Ketidakbaikan atau pun kebaikan yang didasari ketidakbaikan tadi. 

- Jadilah buku yang terbuka. Jangan menutupi masa lalu Anda. Biarkan anak-anak tahu dan biarkan mereka juga mengerti bahwa kita berjuang dan berusaha keras menjadi manusia yang lebih baik dan lebih baik lagi. 

- Memahami dan memaafkan anak. Atas apa yang saat ini telanjur ada pada diri mereka, kesalahan dan kegagalan. Jangan bebani mereka dengan hal-hal yang sifatnya materialistis: harus pintar, harus nilai baik, harus lulus dengan indeks prestasi sekian, harus masuk sekolah favorit, harus mendapatkan pekerjaan bonafide, dan harus ini-itu lainnya. Biarkan mereka menjalani apa yang menurut mereka baik dan jadilah sahabat mereka. 

- Jangan menyiapkan jalan mereka. Cukup siagakan mereka untuk menghadapi perjalanan dan kehidupan mereka masing-masing. 

 

(wida/gur)

 

Penulis : Wida Kriswanti
Editor: Wida Kriswanti
Berita Terkait