Kiat Menghindarkan Anak dari Sifat Emosional dan Temperamental

aura.co.id | 22 Mei 2020 | 13:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana Hadiwidjodo S.Psi mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan anak berkarakter emosional dan temperamental. “Antara lain karena anak tidak terbiasa mengelola emosi dengan baik, kecerdasan emosi mereka tidak dikembangkan, atau bisa jadi mereka belajar cara yang salah untuk mengekspresikan emosi,” terang Vera. Menurut Vera, sifat emosional dan temperamental akan semakin terlihat ketika anak memasuki usia remaja.

“Ini ada hubungannya dengan perkembangan otak, khususnya di area prefrontal cortex (otak bagian depan) yang belum sempurna. Bagian ini memiliki fungsi eksekutif, antara lain membantu pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan konsekuensi, baik buruk akibatnya. Bagian ini baru akan berfungsi secara optimal ketika memasuki usia 20-an. Sebelum (bagian otak depan matang) itu, pengambilan keputusan dan tindakan remaja lebih banyak dipengaruhi emosi,” papar Vera.

Maka sangat penting peranan orang tua untuk meredam emosi anak, sehingga tidak berlanjut kepada hal-hal yang sifatnya agresif. “Remaja makhluk emosional, jadi bantu mereka untuk meredam (emosi) dulu sehingga rasio mereka dapat membantu mencari solusi. Rasio akan tertutup jika mereka masih emosional,” sambung Vera.

Orang Tua vs Lingkungan

Ketidakstabilan emosi pada remaja bisa diminimalkan jika orang tua membekali anak dengan kemampuan mengelola emosi sejak dini. Caranya, dengan menerapkan pola asuh yang memberi kesempatan kepada anak untuk mengenali, memahami, mengendalikan, dan mengekspresikan emosi dengan tepat.

“Ada sebagian orang tua yang cenderung 'mematikan' emosi anak daripada membantu anak mengenali dan mengatasi emosi mereka. Misalnya saat anak marah dan menangis, mereka hanya mengatakan, 'Sudah, jangan menangis!’ Orang tua tidak membantu anak memahami emosi mereka—mengapa mereka kesal atau sedih—dan tidak membantu anak mengetahui yang harus dilakukan jika mereka merasa kesal, marah, atau sedih,” Vera memberi contoh.

Ketika anak menangis, tanyakan, apa yang membuat mereka menangis? Tawarkan pula solusinya, misalnya dengan mengatakan, “Kamu sedih karena mainan rusak? Nanti Ibu benarkan. Kalau mainanmu sudah benar, kamu tidak sedih lagi, kan?” Anak harus paham. setiap emosi ada penyebabnya dan semua masalah ada solusinya.

Tontonan televisi, permainan, dan lingkungan luar rumah bisa ikut memberi andil dalam membentuk karakter anak yang temperamental, tetapi tidak selalu. “Sesuatu yang dikonsumsi berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan memberikan nilai-nilai yang diserap oleh anak dan diterapkan dalam perilaku mereka, termasuk nilai-nilai kekerasan,” kata Vera. Ketika anak sering menyaksikan tontonan yang mengandung unsur kekerasan, bisa jadi mereka akan terpengaruh, tetapi bisa juga tidak terpengaruh karena bimbingan yang tepat dari orang tua.

“Masa paling penting (dalam pembentukan karakter) adalah 5 tahun pertama sampai usia remaja. Tergantung pada lingkungan seperti apa anak tumbuh dan berkembang. Ada juga orang tua yang ada di rumah tapi tidak sepenuhnya hadir untuk anak, sehingga anak lebih banyak menerima pengaruh dari luar rumah,” urai Vera.

Yang sering tidak disadari, terbentuknya karakter anak terkadang dipengaruhi orang tua sendiri. “Contoh langsung dari bagaimana orang tua mengekspresikan emosi dan bagaimana orang tua menyelesaikan konflik dengan orang lain juga akan dipelajari anak,” Vera menambahkan. Ketika orang tua sering merespons sesuatu dengan marah, anak akan meniru. Reaksi orang tua terekam dalam otak anak sehingga anak menganggap marah adalah reaksi yang wajar ketika emosi mereka tersulut. 

 

Penulis : aura.co.id
Editor: aura.co.id
Berita Terkait