Cara Mengabarkan Berita Buruk pada Anak
TABLOIDBINTANG.COM - Sudah satu kebiasaan orangtua menganggap anak-anaknya masih kecil dan belum cukup umur untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seringkali orangtua bingung bagaimana menyampaikan kabar buruk pada anak-anaknya. Memang mereka masih kecil, balita mungkin, tapi toh mereka berhak mendapatkan informasi sesuai usianya. Berpisahnya orangtua, meninggalnya salah satu keluarga, tidak jarang ditutup-tutupi dengan maksud untuk melindungi si anak dari rasa tidak aman, agar ia merasa nyaman dan bisa menikmati hidup. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Memang benar, tapi apakah bisa dibenarkan bila kita mencoba menutup-nutupi sesuatu, bahkan bisa jadi berbohong?
Sebesar apa pun keinginan untuk melindungi anak, kita tak bisa sepenuhnya melakukan hal itu. Apalagi dunia ini memang beginilah adanya. Ada kejadian menyenangkan, ada juga kejadian menyedihkan. Hidup tidak selamanya senang dan bahagia. Ada juga saat-saat sulit, saat kita merasa sedih, kesal, marah. Siapa tahu dengan mengalami semuanya, akan lebih memperkaya emosi anak. Toh, berdasarkan pendapat para ahli, ada 3 perubahan traumatis bagi anak. Menurut James MacIntyre, M.D., profesor psikistri di Albany Medical College, New York, tidak sedikit orangtua yang keliru, meminimalkan pengaruh pindah rumah pada anak, terutama jika kepindahan mereka masih berada dalam kota yang sama. "Sewaktu anak tinggal di satu tempat selama beberapa waktu, it takes on great importance," ujar MacIntyre. Ia menambahkan, "Pindah bisa terasa sama beratnya dengan kehilangan akibat kematian atau perceraian."
Bahkan jika anak tidak pernah mengalaminya sendiri, ada kemungkinan dia akan melihat kejadiannya --misalnya kematian atau perceraian-- lewat televisi atau bioskop. Itu pendapat Therese A. Rando, Ph.D., penulis How to Go On Living when Someone You Love Dies yang tak bisa diabaikan. Jadi sementara Anda sibuk melindungi anak dari kejadian menyakitkan, ingatlah bahwa dia mungkin saja tidak senaif yang Anda duga. Dengan melindunginya seperti itu, Anda justru membuatnya makin bertambah buruk. "Dia merasa bingung, cemas dan marah," kata MacIntyre. Tapi dengan saran para ahli dan beberapa orangtua yang pernah mengalaminya, sedikit persiapan dan adanya keinginan untuk mendengarkan, bisa menolong anak-anak kita.
Bagaimana melatih anak
J. William Worden, Ph.D., salah satu direktur Harvard Child Bereavement Study menyebutkan, Anda mestinya mencari kesempatan untuk mendiskusikan topik-topik sulit seperti kematian dengan anak --bahkan sebelum dia mengalaminya. Kekecualian bagi anak-anak yang usianya kurang dari atau berusia 3 tahun yang masih sulit memahami arti kematian. "Setelah pulang dari beribadah, saya kadang mengajak istri dan anak-anak menuju pemakaman," ungkap Worden. "Itulah kesempatan anak untuk bertanya soal kematian di saat tidak berduka." Anda bisa juga melakukannya sebelum puasa, dimana ada kebiasaan untuk membersihkan makam. Selain itu usai Lebaran, Anda bisa mengajak anak-anak berziarah sambil menjelaskan tentang kematian. Selain itu, berita-berita baik lewat surat kabar atau televisi juga bisa jadi perantara. Andai ada publik figur yang meninggal, Anda bisa menjelaskannya pada anak.
Tindakan yang sama bisa diterapkan pada pengalaman lain, misalnya perceraian, kematian hewan peliharaan atau pindah ke rumah baru. "Mendiskusikan kejadian ini saat terjadi pada selebriti atau teman membuat anak punya referensi ketika mengalaminya sendiri," jelas MacIntyre.
Rancang waktunya secara tepat
Jack yang baru berusia 4 tahun, dipanggil orangtuanya pada Minggu pagi. "Kami katakan, ia mungkin sedih karena tak bisa tinggal bersama lagi, tapi bisa juga senang bisa melihat rumah baru ayahnya. Punya kesempatan mengecat dan membantu dekorasi rumah ayahnya. Pendeknya kami cari aspek positif dari kejadian ini," jelas Betty, ibu Jack yang baru saja bercerai. MacIntyre sependapat dengan strategi ini. Berbicara dalam situasi yang nyaman dengan sedikit gangguan membuat anak punya waktu untuk mendengarkan tanpa diganggu, plus ada waktu dan ruang untuk mencerna apa yang baru dikatakan dalam pembicaraan itu.
Meski Jack merasa khawatir setelah mendengar berita ini, ia bisa mengatasinya lewat permainan. "Dia suka membuat rumah-rumahan dari kardus. Satu siang, ia memanggil saya untuk melihat 'rumah' yang baru dibangunnya," cerita Betty. Tapi ingat, memberitahu anak bukan berarti anak Anda mendengar dan memahami berita yang disampaikan. "Dia butuh waktu untuk memusatkan pikiran sebelum bisa memahaminya," tukas MacIntyre. Jika dia kesal atau marah, tundalah pembicaraan sampai si anak tenang. Dan Anda juga bisa minta bantuan orang lain yang sering berinteraksi dengan anak agar Anda bisa memantau perkembangannya. Betty, misalnya, minta bantuan guru Jack, yang bisa memantau perkembangan anaknya di sekolah, siapa tahu ada kejadian yang terlewat.
Dengarkan apa kata anak
Memberitahu soal kepindahan, juga bukan sesuatu yang gampang. Respon pertama anak biasanya senang karena membayangkan akan menempuh perjalanan dan punya rumah baru. Tapi beberapa hari berikutnya, mereka bisa mogok, tak mau pindah dan memilih pindah ke rumah temannya yang tak bakal pindah keluar kota. Respon seperti ini jangan sampai membuat Anda kesal dan memaksa mereka menerima begitu saja keputusan untuk pindah. Lebih baik, Anda mendiskusikannya dengan anak. Apa yang mereka sukai di sini yang akan mereka rindukan nantinya. Bicarakan juga situasi dan lingkungan sekitar rumah yang baru. Beritahu bagaimana pengalaman beberapa teman atau tetangga yang pernah pindah sebelumnya. Bagaimana mereka malu pada awalnya lalu bisa menerima dan bahagia pindah di tempat yang baru, mendapat teman, lingkungan dan sekolah yang baru. Ingatkan juga beberapa teman yang pindah, tapi tetap masih bisa berhubungan sampai saat itu.
Pahami kalau emosi anak masih akan mendua, antara senang dan marah. Tapi itu adalah reaksi normal dan bisa diterima. Beritahu anak, perasaan semacam itu masih wajar sampai mereka bisa menerima sepenuhnya kepindahan itu. Anda justru akan lebih membantu jika bisa jadi pendengar yang baik. "Sebagian orangtua memberikan informasi lebih dari yang diperlukan anak-anaknya. Yang lebih baik justru dengan mendengarkan apa yang jadi perhatian anak," tegas Worden. Anda bisa mengulangi --dengan kata-kata Anda sendiri-- apa yang sudah dikatakan anak agar dia tahu kalau didengarkan. MacIntyre sependapat dan menambahkan, "Orangtua seringkali tidak ingin mendengar ketakutan dan keprihatinan anak-anaknya dan lebih berusaha menentramkan hati anak."
Jangan sembunyikan perasaan Anda
Menurut MacIntyre, anak bisa merasa bila ada sesuatu yang salah. Jadi suatu kesalahan jika Anda berusaha menutupinya. Kalau pun terjadi demikian, biasanya anak akan berlaku aneh, tidak seperti biasanya. Tapi begitu Anda jujur dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi --meski dengan sedikit informasi saja-- anak-anak akan berlaku normal lagi. Psikolog Kal Heller, Ph.D., menambahkan bahwa Anda mesti mendukung anak untuk menerima kehilangan ini dengan cara yang positif dan realistik. "Jika keluarga pindah, libatkan anak dalam proses pengepakan, biarkan mereka melihat truk datang dan mengangkut barang-barang di rumah. Dengan membiarkan mereka terlibat, setiap perubahan yang terjadi terasa lebih ringan," kata Heller yakin.
Heller juga mengingatkan, dalam proses pindah rumah, ada baiknya anak diberi kotak tersendiri. Mereka bisa menggunakannya untuk mengumpulkan barang-barang yang mereka sukai, yang bisa mereka jadikan kenangan. Bisa juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berpose dan memotret beberapa tempat atau teman yang ingin dikenang. Anak yang orangtuanya bercerai, bisa membantu kepindahan salah satu orangtuanya. Dan jika seseorang yang Anda dan anak Anda kenal meninggal dunia, ada baiknya Anda mengajak anak menghadiri pemakamannya dan memberitahu cara yang baik untuk berdoa bagi almarhum/ah. J ati/Rb
Haruskah membawa anak melayat ke pemakaman?
Jika Anda dan anak sama-sama siap, jawabannya tentu iya. Anak-anak setiap usia bisa menghadiri pemakaman, tapi siapkan beberapa hal:
* Pastikan anak ingin pergi. Jangan pernah memaksanya.
* Beritahu apa yang akan terjadi di sana. Jika almarhum/ah, masih belum dimakamkan, beritahu anak ia akan melihat jenasah. Jika sudah tidak ada jenasahnya, beritahu kemana perginya. Jelaskan juga bahwa keluarga dan teman yang ditinggalkan akan merasa sedih dan banyak yang menangis agar ia tidak kaget melihatnya.
* Mintalah anggota keluarga atau teman yang bisa dipercaya untuk menemani anak jika Anda sendiri sangat berduka. Pastikan keluarga atau teman yang menemani anak memahami sepenuhnya bila anak Anda akan bingung, pergi melayat atau tetap di rumah. J ati/Rb