Siapa yang Jadi Anak Emas Ketika Anak Kedua Lahir?

aura.co.id | 13 Desember 2020 | 05:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Oke, permasalahan sebagai orang tua nyatanya memang tidak akan berhenti di satu titik. Setelah lolos menjadi orang tua baru, dengan satu orang anak yang diurus dan dibesarkan sepenuh hati dan jiwa sehingga begitu hebat dan membanggakan, “permasalahan” kemudian datang lagi. Ibu melahirkan anak kedua!

Penulis juga mengalami hal serupa. Betapa gembira menyambut kelahiran anak kedua, tapi pada saat bersamaan muncul kekhawatiran terhadap nasib kakaknya. Bagaimana kalau dia merasa cemburu? Bagaimana kalau dia merasa disingkirkan? Hal-hal semacam itu memengaruhi sikap saya juga sebagai ibu ketika akhirnya si anak kedua lahir. Tanpa saya sadari, anak kedua selalu saya nomorduakan. Baju-baju kebanyakan lungsuran kakaknya yang kebetulan sama perempuan. Pulang kerja pun, anak pertamalah yang mendapatkan pelukan pertama.

Anggia Chrisanti, konselor dan terapis DEPTH (deep psych tapping technique) di Biro Konsultasi Psikologi Westaria yang juga banyak menangani kasus anak-anak di kemensos, menguraikan beberapa poin yang lantas membuat saya tersadar, bahwa apa yang saya lakukan kurang tepat.

Si sulung

Anak sulung sejatinya tipikal dengan anak tunggal. Berapapun lama atau sebentar, dia adalah anak tunggal selama belum punya adik. Apalagi dengan harapan-harapan besar, persiapan dan kehebohan menyambutnya, termasuk (secara otomatis) pemanjaan (baca: pemenuhan yang cenderung berlebihan), akan didapatkan dan dirasakan oleh si sulung pada saat menjadi anak tunggal itu. “Maka, hampir pasti pula dia "anak emas" pada 'masanya'. Pada saat itu, semua terasa baik-baik dan sah-sah saja. Tidak ada yang salah,” buka Anggia.

Anak keduaku

Hingga datang adik baru (anak kedua). Semua hal menyenangkan yang diterima dan dirasakan si sulung sebagai anak emas mulai terancam, bahkan sejak adik masih di dalam kandungan. Oleh karenanya, muncul naluri superioritas pada anak pertama. Yaitu ketika anak sulung akan berusaha lebih menguasai dunianya agar tidak diambil alih adiknya. “Sayangnya, tanpa sadar, orang tua yang khawatir berlebih--mengenai anak sulung yang akan cemburu dengan kehadiran adik--justru malah semakin menegaskan bahwa perhatian lebih diarahkan kepada si sulung. Yang notabene sudah pernah mendapatkan segalanya, sejak sebelum dilahirkan hingga saat adiknya lahir,” ujar Anggia. “Sikap orang tua inilah yang tanpa sadar menjadikan kondisi anak kedua (benar) selalu menjadi yang kedua atau dinomorduakan,” sambungnya.

Anak kedua jangan jadi anak emas

Dengan alasan ingin membuat nyaman si kakak, ingin agar kakak tidak menjadi cemburu, maka anak kedua seolah sengaja dibuat agar tidak menjadi spesial. “Semuanya harus berbagi dengan kakaknya yang padahal telah mendapatkan semuanya sejak sebelumnya,” Anggia menjelaskan.

Sang kompetitor

Itu sebabnya, dalam keseluruhan hidupnya, dalam alam bawah sadarnya, terbentuklah jiwa atau nunari kompetitor. Anak kedua selalu terdorong untuk berkompetisi, bahkan hal sekecil apapun. Karena untuk mendapatkan apapun, dia selalu harus berbagi dengan kakaknya. Dan semakin parah ketika kemudian harus mengalah dengan adiknya (jika ada anak ketiga nantinya).

Anak kedua juga hampir tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Anak kedua cenderung selalu dibandingkan (baik secara sadar atau tidak) dengan kakaknya atau adiknya. Hal ini, pada skala yang lebih luas, akan berpengaruh pada kehidupan sosialnya kelak. “Sehingga tidak mengherankan, kalau kemudian terkenal sebutan bagi anak kedua sebagai trouble maker. Padahal dia hanya merasa harus berkompetisi dengan siapapun untuk mendapatkan atau mempertahankan apapun yang menurutnya adalah haknya,” urai Anggia.

Sayang anak

Jadilah orang tua yang sayang anak. Semua anak. Tanpa membedakan. Berikanlah haknya masing-masing. Jika si kakak pernah, boleh, dan sah menjadi 'anak emas', mengapa anak kedua tidak boleh? Jika anak pertama pernah mendapatkan kehidupan pribadinya yang hanya miliknya, mengapa anak kedua tidak bisa? Gunakanlah prinsip customer service, misalnya di sebuah bank. “Seorang customer service akan tetap memberi pelayanan prima kepada setiap klien walaupun itu adalah klien ke-1000 di hari itu. Dengan senyum yang sama, sikap baik dan keramahan yang sama, kesabaran yang sama dalam menjawab pertanyaan, seolah itu adalah klien pertama. Jangan sampai terjadi sebaliknya, seperti demotivasi, malas-malasan, apalagi tidak mood menghadapi customer ke-1000 itu tadi,” beri contoh Anggia.

Nah, orang tua pun harusnya seperti itu. Perlakukan semua anak, walaupun anak ke-11, dengan kasih sayang, kesabaran, perhatian, antusias, dan kegembiraan yang sama seperti ketika mendapatkan anak pertama. Karena bagi anak-anak ini (anak kedua dan berikutnya), kehidupan mereka baru dimulai pada saat mereka lahir. Mereka punya hak yang sama dari nol, bukan kemudian hadir hanya untuk melengkapi kehidupan kakak-kakak atau adik-adiknya. “Setiap anak punya kehidupan sendiri, haknya masing-masing. Harus diberikan sama, sesuai kebutuhannya, sesuai porsinya. Jangan dibedakan kecuali Anda ingin anak Anda menjadi 'berbeda',” pungkas Anggia.

Penulis : aura.co.id
Editor: aura.co.id
Berita Terkait