Jangan Gampang Pukul Anak, Ini Dampak Buruknya di Masa Depan

aura.co.id | 7 Januari 2021 | 05:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Disengaja atau tidak, masih banyak orang tua menerapkan kekerasan fisik dalam mendisiplinkan anak. Pemukulan, seringan apa pun, dikategorikan dalam kekerasan. Faktanya, menurut data UNICEF pada 2014, 80 persen orang tua di seluruh dunia kerap memukul anak. Hampir semua orang tua mengatakan terpaksa melakukannya, lantaran anak sulit diatur jika hanya dengan kata-kata.

Dalam kondisi emosional, orang tua sering lepas kendali dan secara refleks memukul anak meski tidak bertujuan menyakiti. Namun perlu diingat tindak kekerasan, baik yang berat maupun ringan, merupakan cara kontraproduktif dalam mengatur anak.

“Kami menemukan bahwa memukul bokong selalu dianggap sebagai tindakan spontan orang tua dalam mendisiplinkan anak,” kata Elizabeth Gershoff, profesor ilmu perkembangan manusia dan keluarga di Universitas Texas di Austin, AS. Meski tidak menyakiti fisik dan terlihat hanya mengejutkan anak, jika dilakukan sering akan berefek jangka panjang dalam perkembangan mereka.

Menurut penelitian Universitas Texas dan Universitas Michigan, AS, kontak fisik baik berupa kekerasan atau pun pukulan tanpa menyakiti bisa mengganggu perilaku dan kesehatan mental anak. Gangguan ini tidak langsung muncul, melainkan baru terlihat bertahun-tahun setelahnya. Kesimpulan diambil setelah para ahli melakukan metaanalisis pada 2016, menggunakan data dari lebih dari 160 ribu anak dalam periode lebih dari 50 tahun. Hukuman fisik yang diberlakukan terhadap anak dapat memicu perilaku antisosial, agresif, masalah kesehatan mental, gangguan kognitif, dan kepercayaan diri yang rendah pada anak ketika mereka tumbuh besar.

Tidak hanya itu, pemukulan terhadap anak menimbulkan efek donimo. Anak-anak yang semasa kecil sering dipukul akan menerapkan hal yang sama terhadap anak-anak mereka kelak. Mereka yang biasa ditertibkan dengan dipukul, akan menganggap pukulan adalah hal biasa dan cara untuk membuat orang lain mengikuti keinginan mereka. “Kebanyakan anak akan berhenti melakukan sesuatu jika seseorang memukul mereka, tetapi itu tidak berarti mereka memahami mengapa orang lain memukul atau apa yang seharusnya dilakukan,” kata Gershoff.

Merusak Otak

Memukul anak juga berdampak pada perkembangan otak. Hasil penelitian di AS mengemukakan, mengekspos anak dengan tindak kekerasan seperti pukulan dapat merusak grey matter atau penghubung abu-abu, bagian otak yang berfungsi untuk memproses informasi.

Anak yang menerima kekerasan, setidaknya satu pukulan dalam sebulan selama lebih dari 3 tahun, mengalami defisit penghubung abu-abu di bagian korteks prafrontal atau otak depan yang berfungsi sebagai pusat berpikir dan kontrol emosi. Kekurangan penghubung abu-abu di bagian ini membuat anak rentan mengalami depresi, kecanduan, dan gangguan kesehatan mental.

Ini sebabnya, semakin banyak Anda menggunakan kekerasan dalam mendisiplinkan anak dan memaksa mereka berperilaku baik, semakin jauh pula anak dari sikap disiplin dan perilaku baik. Dr. Vanessa Lapointe, psikolog yang juga penulis buku cara mendisiplinkan anak tanpa menyakiti, Discipline without Damage, menyarankan alih-alih memukul, terapkan kedisplinan produktif untuk membantu anak mempelajari nilai-nilai positif.

Fokuslah ke penerapan aturan yang jelas, sesuai kebutuhan anak, dan bertujuan membangun hubungan lebih kuat antara orang tua dan anak. Misalnya aturan soal jam tidur malam, dengan konsekuensi anak harus membuat sarapan sendiri keesokan hari jika melanggar. “Pekerjaan kita adalah memastikan bagian otak anak yang berkaitan dengan penerapan peraturan tenang, tidak kacau,” jelas Lapointe. Menurutnya, strategi ini dalam jangka pendek bermanfaat mengurangi perilaku tantrum. Dan dalam jangka panjang membantu membentuk perilaku baik dan disiplin pada anak.

 

Penulis : aura.co.id
Editor: aura.co.id
Berita Terkait