Mengupas Stigma yang Ditujukan Kepada Para Ibu Tunggal
TABLOIDBINTANG.COM - Ibu tunggal atau single mom masih lekat dengan sejumlah stigma. Mulai dari status pernikahan hingga anak dari para ibu tunggal ini kerap mendapat cap negatif. Berbincang dengan tabloidbintang.com, pendiri komunitas Single Moms Indonesia, Maureen Hitipeuw mengungkap berbagai stigma tersebut.
Bisa disimpulkan stigma yang paling kuat adalah tentang status janda yang dipandang sebagai perusak rumah tangga orang. Dibarengi dengan gurauan dan meme yang merendahkan status para ibu tunggal ini.
Stigma ini tentu melukai hati dan rentan memengaruhi emosional para ibu tunggal ini. "Penilaian negatif ini terkadang juga membuat wanita menjadi takut keluar dari hubungan rumah tangga yang tidak sehat. Misalnya, karena faktor kekerasan dalam rumah tangga," ujar ibu tunggal satu anak ini.
Belum lagi, stigma yang menyasar anak-anak yang orang tuanya bercerai ini. Perilaku baik dan buruk anak kerap dikaitkan dengan status rumah tangga orang tuanya.
Maureen mencontohkan ketika anak korban perceraian berbuat salah, statusnya pernikahan orang tuanya akan disorot. Sebaliknya, kala mereka berperilaku baik, status pernikahan orang tuanya juga tak lupa dikaitkan.
"Aku pribadi selalu bilang ke anakku, kalau dia akan selalu dinilai orang lain karena orang tuanya bercerai. Kamu baik, orang masih akan bilang, 'wah, hebat ya padahal anak broken home'. Kamu berbuat salah, orang pasti akan mengaitkan ke broken home lagi. Labelnya akan disebut terus. Memang kenyataannya begitu," ucap Maureen yang yakin perilaku anak tergantung pengasuhan orang tua.
Memerangi stigma ini, Maureen memberi edukasi dengan cara positif lewat konten dan diskusi di media sosial SMI. "Karena mungkin orang enggak sadar kalau bercandaan dia salah dan menyakitkan jadi mudah melempar gurauan seperti itu," imbuh Maureen.
Butuh jalan panjang melawan stigma ini, Maureen berharap masyarakat bisa menerima ibu tunggal layaknya manusia biasa.
"Kami enggak ada bedanya dengan orang lain, yang berbeda hanya status pernikahan saja. Kami juga ingin bahagia seperti ibu-ibu lain, melihat anak kami sehat dan pintar. Sambil pelan-pelan mengubah stigma, kami juga terus menguatkan diri. Stigma itu akan jatuh sendiri ketika kami berdamai dengan masa lalu, nyaman dengan diri sendiri dan anak kami baik-baik saja," pungkas Maureen.
(yuri / wida)