Sekolah dari Rumah, Sampai Kapan, atau Sebaiknya Malah Diteruskan?
TABLOIDBINTANG.COM - Suasana berisik di pagi hari saat anak-anak bersiap berangkat ke sekolah, tak lagi menghiasi banyak rumah. Bebarapa bulan terakhir anak-anak bisa bangun pagi agak kesiangan dan tak perlu buru-buru mandi. Mereka bisa santai nonton TV atau main game. Meski tak ruting, kadang memang ada pembelajaran jarak jauh lewat beberapa aplikasi yang sudah tersedia. Para ibu ikut kebagian repot membantu agar proses Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) selama pendemi Corona berjalan lancar. Ini kebiasaan baru yang tak mudah, bagi guru, anak-anak, juga orangtua murid. Sampai kapan kerepotan ini akan berlangsung? Saya malah berangan-angan, PJJ perlu terus dilanggengkan tapi tanpa kerepotan berarti.
Selama ini, proses PJJ dianggap sebagai kondisi emergeny dan bersifat sementara. Maka segala masalah yang muncul dianggap sebagai hambatan dan tak perlu dicari solusinya. Tapi bila PJJ diterapkan sebagai model baru pendidikan yang berlaku saat ini, saya percaya serentak semua pihak akan menyesuaikan diri. Anak-anak yang mulai menyadari sekolah dilakukan dari rmh perlahan akan terbiasa dengan pola baru ini. Begitu juga dengan sekolah dan orangtua murid. Kendala dan rintangan pasti banyak, tapi itu untuk diselesaikan, bukan diwacanakan apalagi diperdebatkan.
Kalau setahun lalu sebagai Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memperkenalkan kurikulum baru dengan sitem pendidikan jarak jauh, dia pasti akan ditentang banyak pihak dengan berbagai argumen, dan infrastruktur yang tidak mendukung akan dijadikan isu. Tapi sekarang, dalam ketidakpastian akut karena wabah Corona, segala model pendidikan alternatif layak dicoba. Beberapa bulan model sederhana PJJ sudah berjalan. Bila model ini ternyata bisa jadi alternatif yang lebih sesuai dengan kondisi selama dan setelah pandemi Corona, tinggal Kemendikbud yang harus membuat kurikulum baru yang mendukung. Setelah sebelumnya ada Kurtilas, kurikulum yang lebih relevan saat ini mungkin kurikulum pendidikan online atau kurikulum pendidikan jarak jauh.
Jika PJJ dijadikan model pendidikan, bagaimana dengan kebutuhan anak untuk sosialisasi? Ini hanya salah satu dari banyak pertanyaan yang akan muncul kemudian. Bagaimanapun anak-anak tetap butuh bersosialisasi. Mereka perlu berinteraksi dengan teman sebaya. Tak ada masalah. Anak-anak bisa tetap pergi ke sekolah, misal seminggu sekali, untuk berkoordinasi dengan guru/sekolah dan melakukan aktivitas fisik bersama. Sosialisasi sebagai salah satu faktor penting tumbuh kembang tak bisa diabaikan. Kebutuhan ini sama penting dengan belajar segala macam mata pelajaran. Setiap sekolah bisa merumuskan kebutuhan anak akan hal ini. Selain aktivitas bersama, kehadiran di sekolah juga diwajibkan saat ujian.
Isu penting terkait PJJ yang banyak dikhawatirkan adalah soal ketersediaan jaringan internet. Tak semua sekolah siap. Kalau kita sudah tahu itu masalahnya, berarti juga sudah tahu penyelesaiannya. Tak hanya perlu membangun infrastruktur internet yang menjangkau seluruh pelosok wilayah untuk menunjang proses pendidikan jarak jauh, bila perlu negara memproduksi masal device (smartphone atau laptop) khusus yg memang peruntukannya untuk proses belajar. Device disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Untuk anak SD dalam divice-nya sudah tersedia semua mata pelajaran yang harus diselesaikan sampai tamat sekolah dasar. Begitu juga dengan anak SMP dan SMA. Jika ini benar-benar terjadi, sejak dini anak-anak memiliki pemahaman baru bahwa gadget sebagai sarana belajar, bukan untuk main game atau Facebokan.
Jika PJJ benar-benar diterapkan dan 90 persen proses belajar dilakukan dari rumh, akan banyak perubahan terjadi di negeri ini. Beberapa mungkin butuh waktu penyesuaian, bebarapa yang lain akan mengalir dengan sendirinya.
Ayo Mas Menteri saatnya merevolusi dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan harus murah dan bisa dijangkau seluruh anak Indonesia di manapun mereka berada dan bagaimanapun kondisi ekonomi orangtuanya. Ini tugas yang sangat menantang, tapi Anda punya pengalaman membuat Gojek yang pasti juga tak mudah di masa-masa awal.
Saya memang bukan pakar pendidikan dan karenanya tak memiliki legitimasi bicara sistem pendidikan. Gagasan ini boleh dianggap sebagai angan-angan belaka. Tapi sebagai orangtua yang cemas, saya berharap setiap anak tetap memiliki kesempatan belajar maksimal, apapun yang terjadi dengan kondisi sosial politik ekonomi di luar sana.