Saatnya Merayakan Persahabatan
TABLOIDBINTANG.COM - PEMILU 2019 sudah selesai. Presiden/Wakil Presiden, 575 anggota DPR RI dan ribuan wakil rakyat yang terpilih di daerah, pada 1 Oktober mendatang akan dilantik dan diambil sumpahnya. Tapi, dunia maya dan medsos masih diramaikan kampanye yang diseronokkan ujaran kebencian, digelontor beragam tagar hujatan dan pelbagai klaim permusuhan dari massa yang terpolarisasi dalam kubu 55% versus 45% konstituen.
Benarkah Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat, kini sedang terbelah? Di manakah budaya kegotongroyongan yang kearifannya mampu menjembatani silaturahim? Apakah visi dan persahabatan Bung Karno-Bung Hatta tak lagi bisa menginspirasi?
Di tengah bising hiruk-pikuk polarisasi massa, yang penuh prasangka dan kebencian, persahabatan menjadi sesuatu yang layak dirindukan. Persahabatan adalah hasrat. Adalah harapan dan keinginan yang kuat untuk menemukan serta meneguhkan ikatan batin.
Lincoln (1809-1865), semasa jadi Presiden AS menerima ratusan surat permohonan maaf dari para prajurit yang melakukan pelanggaran disiplin militer. Surat-surat itu lazimnya dilampiri sejumlah rekomendasi dari tokoh berpengaruh dan sahabatnya. Suatu ketika, Lincoln heran karena ada sepucuk surat permohonan maaf yang tidak dilampiri satu pun rekomendasi. Ketika ajudan menjelaskan bahwa si prajurit memang tidak punya sahabat, Lincoln menandatangani surat permohonan itu seraya berkata, "Baiklah. Mulai sekarang saya yang akan jadi sahabatnya."
Begitu pula Charles Dickens (1812-1870), novelis terkemuka Inggris, seorang unitarian yang menampik dogma-dogma agama dan memuliakan kesadaran sosial. Pada sore yang cerah, saat Dickens makan angin di York, seorang perempuan yang tidak ia kenal menghampiri dan berkata, "Tuan Dickens, ijinkan saya menyentuh tanganmu yang telah mengisi rumahku dengan banyak sahabat."
Persahabatan adalah hasrat yang purba. Tolok ukurnya bukan sekadar rentang waktu, melainkan juga karena di dalamnya terkandung visi, harapan, kegembiraan dan inspirasi yang bermanfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu persahabatan Bung Karno-Bung Hatta yang mengalami pasang surut dan bahkan dilumuri ironi, menjadi penting dikenang dan dirayakan--terutama di saat bangsa yang kelahirannya mereka bidani sedang dirundung prasangka, kebencian dan kemelut pertikaian kuasa.
Persahabatan mungkin mustahil diwariskan kepada anak cucu, tapi setidaknya bisa menyegarkan kesadaran sosial untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling mengasihi. Untuk itulah persahabatan layak dikenang, pantas dirayakan. ***
Jakarta, 24-09-2019
(Harry Tjahjono adalah wartawan, sastrawan dan budayawan)