Sedang Populer di Indonesia, Yuk Kenali Perbedaan Ride Sharing dan Ride Hailing
TABLOIDBINTANG.COM - Kata Ride Sharing dan Ride Hailing mungkin belum terdengar cukup familiar bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Meski begitu, jika menyebutkan merek transportasi online seperti Grab maupun Gojek tentunya sebagian besar sudah memahami, bahkan menggunakannya.
Grab sendiri sebagai perusahaan transportasi online telah berkembang sangat pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini turut sejalan dengan kompetitornya dari Tanah Air, yakni Gojek yang juga telah ekspansi ke sejumlah negara di Asia Tenggara untuk menantang Grab.
Sejalan dengan hal tersebut, Grab sebagai pemimpin pasar terus berinovasi dengan menawarkan berbagai promo menarik untuk para konsumen. Kode promo grab juga terbilang mudah digunakan karena hanya perlu dimasukkan ke dalam aplikasi untuk menggunakannya.
Jika berbicara tentang model bisnis, mungkin banyak yang mengira bahwa Grab dan Gojek menjalankan skema Ride Sharing. Padahal, faktanya bisnis yang dioperasikan oleh Grab dan Gojek merupakan konsep Ride Hailing.
Lantas, sebenarnya seperti apa sih sebenarnya perbedaan dari Ride Sharing maupun Ride Hailing? Berikut penjelasannya!
Secara konsep, Ride Sharing dan Ride Hailing memang tidak memiliki perbedaan yang cukup kentara. Hal ini dikarenakan pada kedua konsep ini memang pemilik kendaraan menawarkan kursi kosong pada orang lain dan menerima imbalan darinya.
Namun tetap ada perbedaan yang cukup mendasar. Mari kita ambil studi kasus ojek online. Pertama, pada konsep Ride Hailing, driver menjadikan kendaraannya sebagai mata pencaharian. Sehingga para pemilik kendaraan berlomba - lomba untuk dapat mencari penumpang agar mendapatkan pendapatan dan menarik keuntungan.
Sebaliknya dalam konsep Ride Sharing, pemilik kendaraan tidak menjadikanya sebagai mata pencaharian utama. Mereka menawarkan kursi kosong yang ada di kendaraannya untuk menutupi sebagian biaya pemakaian seperti biaya parkir atau bensin. Selain itu, para driver Ride Sharing hanya melakukan perjalanan di waktu tertentu saja. Karena itu, mereka pun tidak mengejar keuntungan dari kursi kosong yang ditawarkan pada kendaraannya.
Perbedaan kedua bisa dilihat pada status on demand. Pada konsep Ride Hailing, terdapat status on demand service untuk penumpang atau customer. Layanan ini memungkinkan customer untuk dapat meminta (order) layanan secara langsung tanpa harus mencari atau menunggu.
Karena itu, pemilik kendaraan harus siap sedia kapan pun ketika menerima order dari customer. Dengan kata lain, konsep Ride Hailing lebih berorientasi kepada penumpang. Berbeda halnya dengan Ride Sharing yang tidak memiliki sistem on demand service.
Customer tidak bisa langsung melakukan order secara langsung. Meski begitu, ia juga harus menyesuaikan waktu dengan pemilik kendaraan yang menawarkan kursinya. Customer pun harus terlebih dahulu mencari rute yang searah dengannya sebelum melakukan order. Dengan demikian sistem Ride Sharing lebih berorientasi pada driver atau pemilik kendaraan.
Perbedaan selanjutnya adalah masalah penentuan tarif. Dalam konsep Ride Hailing, tarif ditentukan oleh operator aplikasi yang dihitung berdasarkan jarak tempuh. Kemudian operator akan mengambil margin dari tarif dasar tersebut. Sehingga imbalan yang diterima oleh driver ketika menyelesaikan perjalanannya akan berbeda dengan yang dibayarkan oleh driver-nya.
Sebaliknya dalam konsep Ride Sharing, tarif bisa dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan driver dengan rider. Namun pada banyak aplikasi Ride Sharing, driver bisa menentukan sendiri tarif untuk perjalanannya. Tarif yang ditetapkan pun biasanya lebih murah dibandingkan tarif Ride Hailing. Hal ini karena driver menarik tarif hanya untuk menutupi sebagian biaya perjalanan.
Ride Sharing dan Ride Hailing adalah dua konsep yang berbeda, meski pada dasarnya keduanya sama-sama berjalan di platform transportasi massal dalam format digital. Untuk menjelaskan definisinya lebih lanjut, yuk simak poin berikut:
1. Konsep Ride Sharing
Ride Sharing merupakan sebuah layanan untuk berbagi tumpangan bagi para pengguna jasa transportasi massal. Pemilik kendaraan tinggal memasukan rute dan arah tujuannya ke aplikasi digital untuk berbagi tumpangan, kemudian pengguna jasa tumpangan tinggal melihat di layar aplikasi ponselnya manakah kendaraan searah dengan tujuan yang tersedia dan menentukan lokasi pertemuan.
Dalam perkembangannya, konsep Ride Sharing ini berjalan sebagai upaya profit dan non-profit. Non-profit bisa dikatakan sebagai pengemudi tidak dimotivasi oleh keuntungan, melainkan lebih kepada misi sosial, perlindungan terhadap lingkungan. Sementara profit biasanya dikembangkan oleh sebuah perusahaan yang ingin mencakup mitra pengemudi yang lebih luas.
2. Konsep Ride Hailing
Ride Hailing adalah konsep bisnis transportasi massal berbasis digital dengan rasa kendaraan pribadi. Artinya dalam satu kali perjalanan dalam sebuah kendaraan, hanya ada kamu dan pengemudi. Tidak ada penumpang lain yang tidak kamu kenal.
Kelebihan lain dari Ride Hailing adalah kamu dapat menentukan rute mana yang akan dilewati sesuai kebutuhan. Misalnya ingin mampir ke supermarket atau apotek, tinggal minta pengemudi arahkan saja kesana. Di tengah jalan ingin mengubah tujuan akhir pun diperkenankan, hanya saja pasti biaya perjalanan yang dikeluarkan bakal menyesuaikan.
Layanan Ride Sharing sendiri mulai populer di Indonesia setelah kemunculan Uber di tahun 2014. Setelahnya disusul dengan layanan Gojek dan Grab. Pada awalnya, Gojek muncul sebagai layanan ojek online dan Grab dengan layanan taksi online. Pada dasarnya, konsep bisnis yang dijalankan oleh Grab dan Gojek lebih mirip ke model Ride Hailing dibandingkan Ride Sharing.
Meski pada awalnya Uber mengeluarkan layanan model Ride Sharing, akhirnya perusahaan asal Amerika Serikat ini juga mengekor Grab dan Gojek sebagai layanan Ride Hailing.
Pada akhirnya, Uber pun akhirnya “menyerah” di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Saham dan aset Uber pun “dicaplok” oleh pesaingnya, yaitu Grab. Grab secara resmi mengakusisi Uber pada 26 Maret 2018. Akuisisi Grab terhadap Uber disebut-sebut menjadi kesepakatan terbesar di Asia Tenggara.
Dalam akuisisi ini Uber menjual bisnisnya kepada Grab di Asia Tenggara. Sebaliknya, Grab menyerahkan 27,5% sahamnya kepada Uber. Setelahnya, persaingan bisnis Ride Hailing di Asia Tenggara, termasuk Indonesia hanya diisi oleh dua pemain yakni Gojek dan Grab. Tidak heran, Grab pun berhasil menjadi startup berstatus Decacorn dengan valuasi lebih dari 11 miliar dolar Amerika Serikat. Hal ini juga disusul oleh pesaingnya, yaitu Gojek yang juga menjadi startup berstatus Decacorn dengan valuasi lebih dari 10 miliar dolar Amerika Serikat pada tahun 2019 lalu.
Sederhananya kalau startup berstatus Unicorn itu valuasi atau nilai perusahaannya sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat, maka Decacorn adalah startup yang berhasil mencapai valuasi 10 miliar dolar Amerika Serikat.
Grab sendiri menjadi startup berstatus Decacorn setelah terus mendapat kucuran investasi sejak tahun 2014. Pendanaan pertama Grab dimulai dari bulan April 2014 dengan nilai sekitar 10 juta dolar Amerika Serikat atau Rp 140 miliar. Dikutip dari Techcrunch, Pendanaan seri A ini dikucurkan oleh Vertex Venture Holdings, anak usaha dari Temasek Holdings.
Pada tahun yang sama, Grab juga mendapatkan pendanaan dalam beberapa seri dengan total US$ 340 juta dengan rincian seri B pada Mei 2014 senilai 15 juta dolar Amerika Serikat. Dalam pendanaan pemodal yang mengucukan adalah GGV Capital asal China, Qunar dan Vertex Venture.
Berikutnya, seri C pada bulan Oktober 2014 senilai 65 dolar Amerika Serikat juga dari Tigel Global asal Amerika Serikat, GGV Capital dan Venture Vertex. Grab menutup tahun 2014 dengan pendanaan seri D senilai 250 juta dolar Amerika Serikat dari SoftBank Group asal Jepang.
Pendanaan Grab berlanjut pada bulan Agustus 2015 dengan menggandeng investor kakap seperti Didi Chuxing asal China dan China Investment Corporation (CIC). Dalam pendanaan seri E ini Grab menjaring dana 350 juta dolar Amerika Serikat.
Tidak berhenti di sana, Grab mandapatkan dana 750 juta dolar Amerika Serikat di pendanaan seri F dari Softbank, Didi Chuxing dan produsen otomotif Jepang Honda. Pendanaan ini didapatkan pada bulan September 2016.
Pendanaan Grab berlanjut pada seri G senilai 2,5 miliar dolar Amerika Serikat. Kerja sama pendanaan didapatkan pada Agustus 2017 dari Softbank, Didi Chuxing dan Toyota.
Pada tahun 2018, Grab kembali menyatakan mendapat pendanaan sekitar 3 miliar dolar Amerika Serikat dari Toyota, Microsof, Booking Holdings, dan Yamaha Motors. Namun, beberapa media seperti TechCrunch telah melaporkan Grab meningkatkan target pendanaan jadi 5 miliar dolar Amerika Serikat.
Sedangkan pendanaan kompetitornya yaitu Gojek, menurut Crunchbase, GOJEK menggelar sembilan kali putaran penggalangan dana. Ada 24 investor yang telah menyuntikan dana ke GOJEK dengan total mencapai 3,1 miliar dolar AS.
Di tahun 2014, Satu tahun sebelum meluncurkan aplikasinya, Gojek mendapatkan investasi Seri A. Investasi ini dilakukan oleh Openspace Ventures dan Capikris Foundation yang jumlahnya tidak diungkap. Di tahun 2015, suntikan dana pada Gojek dari tiga investor, yakni Sequoia Capital India, DST Global, dan Openspace juga tidak diungkap.
Pada tahun 2016, GOJEK menggelar putaran pendanaan Seri C yang diikuti oleh dua investor, yakni Rakuten dan Openspace Ventures. Beberapa investor lainnya yang berpartisipasi adalah DST Global, Northstar Group, Farallon Capital Management, Rakuten, dan Sequoia Capital India. Nilai investasi yang berhasil dikumpulkan lebih dari 550 juta dolar AS.
Di awal tahun 2018, Gojek mendapatkan suntikan dana Seri E dari 11 perusahaan yang dipimpin Tencent Holding dengan dana mencapai 1,5 miliar dolar Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, GOJEK menggelar pendanaan Seri F yang diikuti tiga investor, yaitu Google, JD.com, dan Tencent Holdings. Total dana yang didapatkan sebesar 920 juta dolar AS.
Di bulan Maret 2019 lalu, GOJEK kembali meraih suntikan dana Seri F dari PT. Astra International Tbk - TSO Salemba yang kembali tidak disebutkan besarannya. Meski banyak besaran pendanaan yang tidak diungkap, Gojek disebut telah menjadi startup pertama di di Indonesia dengan status Decacorn.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh ABI Research yang berpusat di London, Inggris pada tahun 2019 lalu menemukan Grab mempertahankan pangsa pasar ride-hailing atau transportasi online sebesar 11,4 persen, di Asia-Pasifik dengan dominasi di pasar Indonesia dan Vietnam. Riset ini merupakan riset kedua yang dikeluarkan oleh ABI Research setelah tahun 2018.
Di Indonesia, Grab memimpin pasar dengan 64 persen dan Vietnam 74 persen Menurut ABI, kepemimpinan pasar ini merupakan buah keberhasilan Grab menjadi super app yang dapat menangkap volume permintaan masyarakat yang begitu besar selain transportasi.
Grab juga disebut mampu menyediakan layanan pengiriman barang dan makanan, serta layanan keuangan melalui layanan GrabExpress, GrabFood, GrabFresh, dan GrabFinancial. Sedangkan menurut data ABI Research, Go-Jek, pesaing terdekat Grab, memiliki 35,3 persen dari pasar Indonesia sementara Go-Viet memiliki 10,3 persen dari pasar Vietnam.