Melihat Ada Orangtua Lepas Kontrol Terhadap Anaknya, Perlukah Kita Ikut Campur?
TABLOIDBINTANG.COM - Seorang bocah melompat-lompat riang hingga tak sengaja menabrak orang lain. Sebenarnya dimaklumi, namanya anak kecil. Tapi ibu si anak, ternyata memberi respons berbeda. “Kamu enggak sopan, ya. Bisa diam tidak?” ucapnya sambil berkali-kali memukul kepala anaknya.
Sosok “ibu” yang kompleks
Anda pernah mengalami kejadian yang hampir sama? Apa yang Anda lakukan? Apakah perlu kita ikut campur dengan turut meneriakkan pada si ibu, bahwa caranya “mendidik” anak salah? Pengin sekali berkata, “Hei Bu, kok marahin anaknya sampai begitu?” Tapi itu hanya tersimpan dalam hati. Psikolog anak dari Perguruan Tinggi Kings, Universitas London, Profesor Judy Dunn, menghabiskan lebih dari 40 tahun mengamati anak-anak dalam keseharian mereka di rumah sebagai bahan penelitian. Hasilnya membuatnya bersikap enggan menghakimi seorang ibu yang sesungguhnya sedang berjuang terhadap sesuatu. “Aku pikir sangat berbahaya jika hanya fokus pada apa yang mereka perbuat pada anaknya. Itu seperti mengabaikan kompleksitas dari menjadi seorang ibu,” simpul Dunn.
Salah satu objek penelitian Dunn, seorang ibu miskin yang hidup dengan satu kaki. Walau serba kekurangan, wanita itu menikmati perannya sebagai ibu seorang anak berusia dua tahun dan selalu bergembira bersama. Tapi, idenya tentang mengajarkan disiplin pada anak begitu berbeda dengan apa yang dilakukan Dunn. “Jika anaknya mengompol, dia akan memukulnya. Tepat di hadapan saya. Dia bilang pada saya, ‘Aku tidak bisa menjaga diri untuk tetap waras saat berhadapan dengan kasur yang basah’,” papar Dunn. Lantas Dunn berpikir, siapakah dirinya sehingga berhak menguliahi seseorang yang sedang berjuang (menghadapi rasa takutnya)? Dunn pun menyadari, faktanya, kebanyakan dari waktu si ibu dihabiskan dengan begitu manis bersama putrinya. “Saya kagumi (bagian) itu,” akunya.
Jangan menghakimi, tapi ulurkan tangan
Sulit rasanya menerapkan pemikiran Dunn, bahwa kita sebaiknya tidak ikut campur terhadap urusan orangtua dengan anaknya. Mengingat kita tidak pernah tahu pasti apakah hal yang kita anggap salah itu memang merupakan kesehariannya, atau hanya jika sedang lepas kontrol, panik, dan tidak tahu. Well, Dunn menegaskan tentang sikap tidak menghakimi. Bukan berarti tidak boleh memberi solusi, atau bantuan langsung, jika memungkinkan.
Misalnya, ketika ada ibu yang nampak kerepotan mengurusi dua anaknya saat berada di tempat keramaian. Lalu (tanpa sengaja) dia seperti bertindak teledor dengan salah satunya -- hingga menangis meraung-raung tidak mau berhenti, jangan langsung memberi komentar negatif, “Anda tidak layak punya anak!”
Kembalikan dulu situasinya kepada diri sendiri. Dengan menggunakan empati, pada situasi yang sama, apakah Anda yakin tidak akan melakukan hal serupa? Jika yakin Anda benar, cobalah untuk menegur baik-baik, disertai argumen yang masuk akal. Sehingga akan menjadi pembelajaran bagi yang bersangkutan, alih-alih ketersinggungan semata. Dan berikan bantuan -- sesuai kondisi dan kebutuhan -- langsung, yang tentunya akan lebih bermakna dari sekadar kata-kata.