Mengenal Istilah Pre-Existing Condition yang Bisa Bikin Klaim Asuransi Kesehatan Dibatalkan
TABLOIDBINTANG.COM - Baru-baru ini publik diramaikan berita seorang artis yang juga mantan anggota parlemen yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap sebuah perusahaan asuransi. Keluhan itu disampaikan via di akun media sosial miliknya.
Dalam curhatnya, sang artis mengaku kecewa karena merasa sudah menjadi nasabah loyal selama bertahun-tahun, namun tidak bisa mendapatkan manfaat pertanggungan yang sesuai saat anaknya harus menjalani operasi cedera kaki. Di akun media sosialnya, sang artis menyebut telah kehilangan uang yang menurutnya ditabung dengan susah payah lewat produk asuransi. Namun ia amat menyayangkan ketika tiba saatnya klaim untuk membiayai operasi anaknya yang cedera, nilai manfaat yang idiapat tidak sesuai ekspektasi dan loyalitasnya sebagai nasabah. Padahal belum lama ia meningkatkan kualitas perlindungan yang dibayarkannya kepada perusahaan asuransi. Harapannya, nilai manfaat yang bakal diterimanya bersama keluarga bakal jauh lebih besar lagi.
Menariknya, dalam kolom komentar yang berisi pro dan kontra mengenai curhat sang artis, terselip sebuah komentar dari akun yang memberikan sedikit penjelasan terkait tak sesuainya manfaat asuransi yang diterima oleh anak sang politisi tersebut.
Setelah mencoba merekonstruksi kronologi cerita yang terbangun dalam akun di media sosial tadi, pemilik akun dalam kolom komentar menyimpulkan bahwa apa yang dialami nasabah adalah terjadinya klausul pre-existing condition dalam asuransi, yang memang bisa berujung pada pembatalan perjanjian dan klaim dari perusahaan asuransi.
Lantas, apa sih yang dimaksud dengan klausul pre-existing condition dalam asuransi, dan mengapa hal itu bisa berujung pada pembatalan klaim nasabah? Pengamat asuransi yang juga dosen program master di MM Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler Marpaung mengatakan, pre-existing condition merupakan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelum polis asuransi berlaku.
Ia menjelaskan, “Biasanya, pre-existing condition ini menjadi pengecualian perlindungan yang diberikan. Misalnya jika seorang nasabah telah memiliki penyakit jantung bawaan yang sudah ia derita sebelum membeli polis asuransi. Lalu saat mengajukan Surat Permohonan Asuransi Jiwa atau Asuransi Kesehatan, penyakit bawaan tersebut tidak disampaikan kepada perusahaan asuransi. Maka jika setelah polis berlaku dan ia mengajukan klaim atas penyakit jantungnya, klaim tersebut bisa dibatalkan oleh perusahaan asuransi.”
Pria yang juga menjabat Chairman Wealth Management Standard Board Indonesia (WMSBI) ini, pembatalan klaim akibat dikenakannya klausul pre-existing condition sejatinya bisa dihindari dengan cara memberikan keterangan perihal riwayat kesehatan dan medis si calon nasabah secara terbuka dan transparan.
Terkait keluhan sang aktris, menurut Kapler saat nasabah memutuskan membeli polis asuransi kesehatan misalnya, seharusnya ia mengemukakan seluruh data medis yang dia miliki di surat permohonan perlindungan asuransi.
“Agar perusahaan asuransi bisa menentukan atau memutuskan, apakah asuransi akan menerima permohonan itu, atau apakah perusahaan akan menerima dengan sejumlah syarat, atau justru perusahaan asuransi akan menolak. Sehingga jika di belakang hari terjadi klaim tidak akan timbul masalah seputar legalitasnya,” ujarnya. “Jadi si calon nasabah harus mengemukakan semua riwayat kesehatannya. Keterbukaan harus dilakukan,” imbuhnya.
Kapler juga mengatakan, perusahaan asuransi tertentu bisa saja menetapkan kebijakan agar si nasabah masih bisa mendapatkan program perlindungan yang diberikan. Ia memisalkan, jika si nasabah ternyata memiliki jejak medis penyakit berat tertentu, perusahaan asuransi bisa saja menyiapkan kontrak dengan klausul bahwa manfaat klaim baru bisa diterima si nasabah setelah melewati periode waktu tertentu setelah polis diterbitkan.
“Ada perusahaan asuransi yang mau menjamin risiko tertentu yang sudah terjadi sebelum polis berlaku. Hanya saja klaim baru bisa dilayani setelah dua tahun polis berlaku, misalnya. Atau ada juga yang berlaku setelah tiga tahun polis berjalan. Tergantung jenis penyakit kritisnya,” tutur Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) ini.
Namun demikian klausul yang bisa berujung pada solusi win-win bagi nasabah dan perusahaan asuransi ini, baru bisa terwujud jika sejak awal telah diterapkan keterbukaan informasi dari nasabah kepada perusahaan asuransi. “Ini kan semacam itikad baik dari perusahaan dalam memberikan perlindungan asuransi kepada masyarakat,” beri tahunya.
Kapler melanjutkan, di sisi lain industri asuransi harus mampu memberikan edukasi yang sangat rinci kepada calon nasabah, demi menghindari terjadinya mis-selling. Berikutnya, Kapler juga mengimbau agar nasabah mau membaca setiap klausul perjanjian asuransi secara seksama, sehingga mereka bisa mengajukan keberatan atau ralat jika terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak menguntungkan.
“Yang kurang dipahami betul oleh masyarakat sebagai calon nasabah, mereka itu sebenarnya memiliki masa free look period, atau free look provision. Artinya calon pemegang polis memiliki waktu untuk memeriksa terlebih dahulu polisnya, atau mempelajari kembali, untuk mengambil keputusan final. Jika isi klusul polis tersebut dianggap tidak sesuai dari yang diinginkan, polis bisa dibatalkan dan uang premi yang dibayarkan akan dikembalikan,” kata Kapler.
Umumnya periode free look provision ini berdurasi 14 hari sejak calon nasabah menerima polis, dan semua produk asuransi jiwa dan kesehatan menerapkan klausul tersebut sebagai itikad baik dari perusahaan asuransi, agar tak ada prasangka buruk bahwa perusahaan asuransi hanya mengejar target penjualan polis semata.
“Jadi, sebelum membeli polis, pahami produk yang diinginkan. Baca secara seksama pasal-pasal perjanjian dalam polis, dan berikan semua keterangan tentang diri pribadi secara transparan dan jujur. Agen penjual tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari calon nasabahnya, hanya pribadi si calon nasabahnya yang mengetahui,” tandas Kapler.