Kenapa Komedi "Comic 8" Berhasil dan Disukai Penonton?

Ade Irwansyah | 1 Februari 2014 | 11:26 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - TAK terbantahkan, film nasional yang tengah digandrungi saat ini adalah Comic 8, film komedi karya Anggy Umbara. 

Saya menjadi saksi antusiasme penonton bioskop atas film ini Jumat (31/1) kemarin. 

Maksud hati menghabiskan hari libur dengan menonton film bersama istri, kami sepakat nonton Comic 8. "Aku mau nonton film yang menghibur. Aku penginnya ke bioskop tuh terhibur," demikian istri mencamkan pada saya. 

Ini artinya kami ke bioskop tidak untuk menonton film-film yang serius ataupun berat. Film kelas Oscar? Ah, sebaiknya ditonton sendiri saja. 

Bertandang ke mal Balekota di Tangerang tak jauh dari rumah pada Jumat sore kemarin, istri mengantri memesan tiket di loket bioskop. Niat kami menonton di jam pertunjukkan sekitar pukul lima sore. Ada dua studio memutar Comic 8 di bioskop di mal itu. Kami pikir, masak sih tak dapat kursi? 

Tapi prediksi kadang memang tak sesuai kenyataan.  Dua studio bioskop yang memutar film untuk pertunjukkan sekitar jam 5 sudah habis. Tandas. Semua kursi terisi penuh, katanya. Kami mendapat tiket untuk jam pertunjukkan berikutnya, sekitar jam tujuh malam. Itu pun, katanya, kami duduk terpisah. Kursi yang lowong yang memungkinkan duduk berdampingan cuma tersisa barisan depan. Ia ogah nonton sambil terus-terusan mendongakkan kepala. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi.  

Maka semalam saya berkicau yang intinya begini: "Hendak nonton Comic 8 dengan istri, tapi duduknya terpisah."

Yang saya baca di media, Comic 8 memang begitu laris ditonton. Hari pertama, media melaporkan Comic 8 ditonton 65 ribu penonton. Di hari kedua, penontonnya berlipat jadi 85 ribu. Rasanya tak lama lagi Comic 8 bisa segera tembus 1 juta penonton. 

Pertanyaannya kemudian, kenapa Comic 8 disukai? 

Dari sekilas melihat penonton di dalam bioskop semalam, kebanyakan ABG, remaja maupun orang dewasa di atas 20-an tahun entah mungkin berstatus mahasiswa ataupun yang baru masuk dunia kerja. Usia begini konon market terbesar penonton bioskop. Ini artinya, filmnya telah berhasil memikat market terbesar. Maka tak heran bioskop terisi penuh. Dua layar di satu bioskop pun seakan tak mampu menampung animo penonton.

*** 

Secara kasat mata, Comic 8 memang film yang dengan mudah bakal disukai penonton usia di atas 15-30 tahun. 

Filmnya meminjam elemen-elemen yang dengan mudah bisa diakrabi penonton yang jadi target marketnya. Pendek kata, bahasa film yang dipilih sineasnya cocok dengan penontonnya.              

Unsur pertama adalah kejelian memilih bintang-bintangnya. Film jenis ini bisa diperankan siapa saja. Tapi dengan jeli sineasnya memilih delapan pelawak stand-up comedy alias comic-- sebutan untuk pelawak di genre komedi ini--sebagai pelakon-pelakon utama.

Genre lawak ini tenar beberapa tahun terakhir. Lawakan yang semula dianggap milik sebuah komunitas alias kalangan sendiri itu kini telah menjadi bagian dari budaya pop arus-utama (mainstream). Walau praktis cuma dua stasiun TV (Metro Tv dan Kompas TV) yang konsisten menyuguhkan lawakan begini, toh pada akhirnya orang kebanyakan, atau setidaknya market terbesar bioskop, kenal dengan lawakan stand-up comedy.

Kedelapan comic di Comic 8 ini--Mongol, Mudy Taylor, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, dan Arie Kriting--meneruskan karakter yang mereka biasa bawakan saat melawak sendirian di panggung. Ernest tetaplah comic dengan guyonan Cina-nya, Arie Kriting dengan guyonan Indonesia Timur-nya, Fico dengan gayanya bak bocah idiot yang tambun, dan demikian juga dengan yang lain.

Kalau sekadar ber-"stand-up-comedy" di bioskop tentu tak elok. Penonton bisa menontonnya sendiri di TV atau di YouTube. Harus ada sesuatu yang istimewa agar penonton rela datang ke bioskop. Kunci berikutnya terletak pada kesesuaian karakter dengan cerita yang dipunya. 

Kesesuaian ini rasanya yang tak dimiliki film semacam Slank: Nggak Ada Matinya tempo hari. Film itu dibintangi aktor-aktor yang sudah bermain bagus. Adipati Dolken konon bermain gemilang di sana. Tapi toh pada akhirnya film tersebut tak banyak ditonton Slanker, penggemar Slank. Bagi Slanker, pemeran idola mereka rasanya dianggap terlalu ganteng. 

Beda dengan Comic 8 ini. Para comic di sini cocok betul dengan cerita yang disuguhkan, seolah cerita yang ada memang khusus dibuat untuk mereka. Film ini ide awalnya mungkin memang bagaimana menggabungkan para pelawak di satu layar. Jadi karakternya sudah ada duluan, baru kemudian cerita dirangkai untuk diisi karakter-karakter tersebut. 

Sah-sah saja. Apalagi kemudian antara cerita dan karakter terdapat kecocokan. 

Cerita utama yang dipilih adalah tentang perampokan di sebuah bank. Para comic diplot sebagai perampok bank tersebut. Merampok bank memang harus ramai-ramai. Ini memungkinkan karakter-karakter para comic muncul sepanjang film.

***

Setelah bicara plot dan karakter yang cocok, berikutnya adalah bahasa film yang dipilih Anggy Umbara. Bagi penonton, lewat Comic 8 terbukti sineas tanah air ternyata mampu menyuguhkan sebuah film heist (perampokan) keren yang tak kalah dari bikinan Hollywood. 

Memang masih ada kelemahan kecil (seperti efek ledakan yang terlihat ala kadarnya, misalnya). Namun, filmnya tetap terasa asyik. Anggy mampu bermain-main dengan elemen-elemen bahasa film yang mengingatkan penonton yang "melek film" pada film-film aksi kocak milik Guy Ritchie semacam Lock, Stock, and Two Smocking Barrels, Snatch, atau Revolver--yang akarnya tentu dipinjam dari Quentin Tarantino lewat Pulp Fiction di tahun 1990-an.

Sudut pengambilan gambar maupun cara sineas mem-freeze gambar demi mendapat efek dramatis terasa akrab bagi penonton film-film sealiran dengan Guy Ritchie. 

Nah di sini letak keunggulan filmnya: menyuguhkan sesuatu yang semula penonton pikir hanya ada di Hollywood adalah sesuatu yang terasa keren bagi penonton bioskop kiwari. Elemen twist alias kelokan cerita juga akrab bagi penonton sekarang. Mereka biasanya senang merasa "ditipu" oleh cerita film yang sulit ditebak. 

Mau bagaimana lagi, penonton kebanyakan sekarang memang lebih akrab dengan tontonan ala Hollywood. Yang mereka bakal suka tentu yang kerennya mendekati film-film yang biasa mereka tonton.

***

Menonton Comic 8, sebetulnya film yang langsung teringat di kepala saya bukanlah karya dari Hollywood maupun film-filmnya Guy Ritchie. Comic 8 bagi saya lebih punya kedekatan dengan Kungfu Hustle-nya Stephen Chow. 

Yang sudah nonton tentu paham Kungfu Hustle (rilis 2004) sangat asyik karena filmnya bermain-main dengan genre film kungfu. Chow meminjam elemen-elemen yang familiar dari film kungfu lalu meraciknya jadi suguhan komedi tersendiri. Ada sebutan khusus bagi komedi ala Stephen Chow dalam bahasa kanton, bahasa sehari-hari orang Hong Kong: "mo lei tau." Secara harfiah artinya "yang bukan-bukan" atau juga "yang tak masuk akal". Mo lei tau kemudian sering dipahami sebagai komedi konyol yang bermain-main ataupun memparodikan sesuatu menjadi "yang bukan-bukan" dan pada gilirannya mengundang tawa. 

Komedi ala Chow menemukan bentuknya yang paripurna dalam Kungfu Hustle. Filmnya terasa seperti parodi konyol film-film kungfu tapi di saat bersamaan juga memanfaatkan elemen-elemen efek visual yang dipakai agar filmnya terlihat kian konyol.

Comic 8 tampaknya meminjam elemen mo lei tau dalam Kungfu Hustle. Filmnya terasa bagai parodi sebuah film heist (perampokan) dengan menambah efek visual yang terasa filmnya jadi lebay yang diniatkan mengundang tawa. Rumusan klasik komedi ala Srimulat yakni "aneh itu lucu" dikembangkan lebih luas menjadi "aneh dan lebay itu lucu." 

Hasilnya memang lucu. Penampakan filmnya keren, tak kalah dari Hollywood. Cocoklah dengan penonton kebanyakan zaman kiwari.
 
Maka, mengutip pujian Indro Warkop, "Kompor gas" buat sineasnya! 

(ade/ade)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor: Ade Irwansyah
Berita Terkait