Jahat! Om-om Ini Tega Menguras Harta Brondongnya
TABLOIDBINTANG.COM - “Kami belanja di sebuah mal. Lalu mengantre untuk membayar di kasir. Di tengah antrean, ponsel aku berdering. Aku keluar dari antrean untuk menjawab panggilan itu. Mas Wayan tahu apa yang terjadi? Pacarku ikut keluar antrean nungguin aku sampai selesai menerima telepon. Lalu balik lagi ke antrean. Maksudnya, supaya kami bayar bareng dan aku membayari belanjaan dia Mas. Padahal dia jauh lebih tua dari aku, Mas!”
Bukan Brondong Kebanyakan
Begitulah teman saya (sebut saja Brondi-red) meluapkan kekesalannya dalam sesi curhat dini hari. Brondi laki-laki. Ia punya pacar om-om. Saya bersahabat dengan banyak orang dengan latar belakang beda-beda. Mulai dari yang relijius sampai yang ugal-ugalan. Mulai dari yang normal sampai yang kata orang tidak normal. Selama mereka enggak merugikan saya, ya enggak masalah.
Mendengar curhat Brondi, saya diam. Mendadak, Brondi makin emosi. “Kok mas reaksinya gitu banget, ya? Memangnya saya setolol itu apa?” Saya syok dan balik menjawab, “Brondi, saya belum mengeluarkan sepatah kata pun. Camkan itu!”
“Iya, Mas memang belum ngomong tapi ekspresi muka Mas selama saya cerita melecehkan banget. Seolah-olah aku ini orang paling begok di Jakarta!” Sampai di sini, saya speechless. Diam salah. Ngomong dengan nada nyinyir makin salah. Saya menarik napas panjang kemudian bertanya, “Memangnya selama tiga bulan pacaran ini kamu menghabiskan uang berapa?”
“Sekitar ** juta, Mas. Buat saya itu banyak, lo,” jawabnya melirih.
Suasana kemudian jadi hening beberapa menit. Brondi kemudian bertanya kepada saya lagi, “Memangnya aku kelihatan gobl*k banget, ya?”
“Entah ya. Jatuh cinta kan musuhnya akal sehat. Setahu gue, dimana-mana brondong yang minta dijajanin dan dibeliin sama omnya. Lha ini kok malah kebalikannya. Kamu malah dikuras sama si om,” sahut saya. Dan... yang terjadi kemudian, Brondi menjawab dengan nada tinggi. Lebih tinggi dari lengkingannya Mbak Mariah Carey.
“Heh! Jangan samain gue sama brondong-brondong lain di luar sana, ya! Gue masih punya harga diri. Dan yang harus lo ingat, gue bukan orang kebanyakan!” Saya makin syok. Kalimat “Gue bukan orang kebanyakan” terngiang-ngiang di telinga saya hingga beberapa hari kemudian.
Bukan Om Kebanyakan
Bukan orang kebanyakan. Begitulah Brondi mengklaim dirinya. Ketika brondong-brondong lain bermanja-manja, dibekali kartu kredit, difasilitasi mobil dan apartemen, teman saya ini malah menghidupi si om. Di pihak seberang, om yang mestinya menghidupi anak orang tidak malu untuk hidup dari seorang anak muda. Mungkin ini yang disebut “melawan arus”. Saya kemudian teringat lagunya Mbak Tere yang berjudul “Dosa Termanis” (2005). Liriknya begini:
Hanya hati yang kuandalkan
Dan kucoba melawan arus
Namun saat bersamamu
Masalahku hilang, terbang melayang
Lagu ini tentang perempuan yang mencintai laki-laki yang sudah memiliki pasangan. Ketika orang-orang di luar sana memilih mundur saat mendapati fakta gebetannya sudah punya pasangan, perempuan dalam lagu “Dosa Termanis” ini untuk tidak peduli.
Kegiatan melawan arus bisa berdampak positif juga negatif. Dalam kasus brondi, negatif. Jutaan rupiah melayang. Padahal, uang itu mestinya dikirim ke orang tuanya yang sudah sepuh dan menetap di kampung halaman. Yang bikin dada makin sesak, setelah menguras harta Brondi, om ini pamit jalan-jalan ke luar negeri. Dengan si Brondi? Tentu tidak. Om ini landing manja di Singapura bersama teman-temannya. Sementara Brondi gigit jari di Jakarta. Saya miris mendengar cerita ini.
Hati saya bertanya: kemana perginya cinta yang dulu mereka pamerkan kepada saya ketika baru jadian? Apakah cinta itu tercecer di jalan sehingga yang tersisa motif menguras harta? Ataukah cinta yang mereka proklamirkan itu cinta abal-abal? Cinta tanpa bahan pengawet sehingga dalam hitungan hari, ia kadaluarsa, berjamur, dan jika nekat dinikmati memicu keracunan hati?
Bukan Kata Sifat
Beberapa hari setelah mendengar Brondi, saya bertemu Rommy Rafael (39) dan istri, Ury Kartha Diayu Shinta (36). Romy jatuh cinta kepada Ury sejak kelas 3 SMP. Mereka pacaran selama sepuluh tahun. Pada 31 Juli 2014, keduanya menikah. Selama dua dekade lebih menjalin cinta, tidak mungkin tidak pernah bertengkar. Rommy memberi tahu saya cinta itu bukan kata sifat.
“Cinta sebagai kata sifat itu hanya berlangsung pada tahun pertama. Pada tahun kedua dan seterusnya, berubah jadi kata kerja. Saya harus berusaha untuk terus mencintai istri dan sebaliknya. Ketika cinta menghambar, jangan langsung menuding pasangan. Tanya kepada diri sendiri, apakah saya sudah mengerjakan cinta?” Rommy menasihati.
Selama dua dasawarsa lebih Romy dan Ury mengerjakan cinta. Selama itu, tumbuh benih-benih chemistry. Batang-batangnya menjulang. Akar-akarnya menancap di kebun hati. Lalu, benih chemistry Brondi dan si om tertanam dimana ya, kok bisa setragis itu akhirnya?
“Bo, sebelum nanya ke Brondi, lakuin dulu saran Mas Rommy. Tanyalah ke diri jij sendiri. Pas putus sama pebasket itu, benih chemisty jij dan deseu ditanam dimana?” celetuk teman saya.
Seperti biasa, belum sempat saya jawab, ia mengoceh lagi, “Jangan-jangan jij putus karena apa yang jij harapkan dari pebasket tidak terpenuhi? Sama seperti brondi berharap si om berhenti menjadi matre tapi nyatanya malah hempas ke Singapura bersama teman yang lebih kaya raya dari Brondi?”
Mendengar celetukan si teman, pikiran makin ruwet.
Lalu, saya teringat ketika menghadiri konferensi pers film Taman Lawang (2013) di bilangan Gatot Subroto Jakarta. Salah satu pemainnya, Chand Kelvin ujug-ujug ditanya tentang kriteria pacar. Ia menjawab, “Pastinya yang putih, cantik. Yang apa adanya, bukan ada apanya.”
Saya tertarik pada bagian “Apa adanya, bukan ada apanya.” Menurut saya, boleh-boleh saja kita berharap lebih dari pasangan. Asal, harapan itu tidak untuk kebaikan diri sendiri melainkan kebaikan bersama. Saat kita memutuskan untuk menjalani hidup berdua, maka kata “aku” menjadi nomor dua. Kata “kita” menempati urutan pertama.
Jika ego pribadi dipaksakan kepada pasangan, perlahan cinta yang agung itu tergerus ambisi pribadi. Ambisi memantik konflik. Konflik yang dibiarkan menggenting, lama-lama menghimpit cinta yang diharapkan abadi. Itu pendapat saya, yang notabene belum pernah pacaran hingga satu tahun. Rekor terlama saya pacaran, 10 bulan. Anda mau percaya saya boleh. Enggak juga enggak apa-apa.
(WAYAN DIANANTO / Ray)