Chef Arnold, Ratatouille, dan Mantra "Anyone Can Cook" (Sebuah Laporan, Sebuah Esai)

Ade Irwansyah | 8 Mei 2014 | 11:07 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - RABU (7/5) kemarin saya memenuhi undangan liputan Grand Finale Sealicious 2014 di The Terrace Cafe, Senayan National Golf Club, Jakarta.

Hari itu digelar puncak dari kampanye Sealicious, the first online cooking class in Indonesia yang diselenggarakan Fiesta Seafood. Setelah diluncurkan sekitar dua bulan lalu, Sealicious telah berhasil menginspirasi 11.778 orang di seluruh penjuru tanah air untuk ikut kelas memasak online di situsnya. Lewat proses panjang, terpilih lima siswa terbaik.

Rabu kemarin, lima siswa terbaiknya memperlihatkan kebolehan mereka memasak langsung di hadapan suporter masing-masing, media, dan dewan juri yang terdiri dari chef Arnold Poernomo, chef Winnie Kusumawardhani, dan chef William Gozali. Menyaksikan kelimanya memasak, saya seperti diajak melihat talent show Master Chef Indonesia secara live. Seperti aturan di acara Master Chef, finalis diminta membuat dua jenis masakan (pembuka dan menu utama) dalam waktu 90 menit, dan ketika waktunya habis tangan mesti diangkat ke udara.

Semula saya pikir ini akan menjadi sembilan puluh menit yang panjang dan membosankan melihat orang sekadar memasak. Tapi tidak. Waktu terasa terbang cepat ketika memasak maupun ketika melihat orang memasak.

Sambil menyaksikan lima finalis Sealicious memasak, chef Arnold berbagi tips soal masak-memasak. Yang pertama harus disiapkan sebelum memasak, katanya, adalah plan alias rencana. "Kita harus tahu dulu mau masak apa," ujarnya. Kedua, pastikan dapur dalam keadaan bersih. "Dapur harus clean," tegasnya. Setelah tahu mau masak apa dan semua bahan yang diperlukan tersedia, baru mulai memasak.

Chef Arnold memberi tips pula untuk dua puluh menit pertama ketika memasak, yakni melakukan persiapan dan mengolah bahan dasar. "Masak yang memerlukan waktu lama terlebih dahulu," katanya, "jika ingin memasak kari, buat karinya dahulu." Ia juga bilang selama proses memasak harus fokus dan sering icip-icip untuk mengetahui rasanya sudah pas atau belum.    

***

Menurut sebuah hasil survey, sembilan dari sepuluh wanita Indonesia punya keinginan untuk masuk dapur lalu memasak. Namun di lain pihak, empat puluh persen wanita megurungkan niatnya memasak karena alasan tak punya waktu.

Chef Arnold mematahkan tak punya waktu sebagai alasan seseorang memutuskan tak memasak. Katanya, waktu bisa dibagi.

Memasak, katanya lagi, sejatinya berkaitan dengan insting manusia untuk memenuhi kebutuhan akan makanan. Ya, saya setuju, manusia perlu makan untuk bertahan hidup. Untuk mengolah bahan makanan agar bisa dimakan diperlukan proses yang namanya memasak.  

Chef Arnold memberi perumpamaan. "Seorang mahasiswa yang tinggal sendrian di kamar kos ketika lapar mau tak mau akan ke dapur. Di dapur ia terpaksa memasak, entah hanya menggoreng telur atau masak mie instan. Yang pasti ia ke dapur untuk memasak karena ia lapar, harus makan."

Sejurus kemudian, Arnold bilang, "Semua orang bisa memasak." Ah, kalimat ini. Bukankah ini mantra yang didengungkan film animasi Ratatouille (2007)?

Siapa yang tak terpikat pada film animasi keluaran Pixar karya Brad Bird (antara lain membuat film animasi keren The Iron Giant, 1999) tentang tikus bernama Remy yang mewujudkan mimpi menjadi seekor (bukan seorang, ya) chef handal.  

Remy si tikus mengidolai dan terinspirasi chef Gusteau, chef terhebat di Prancis yang dikatakan menulis buku berjudul "Anyone Can Cook!". Di film itu, selain Remy dan Gusteau kita bertemu juga dengan Anton Ego, si kritikus restoran.

"Judul (buku) yang meresahkan, 'Anyone Can Cook!'. Yang lebih meresahkan adalah Gusteau sepertinya percaya akan yang dibilangnya. Saya, di lain pihak, sangat memandang serius perihal masak-memasak.  Dan, tidak, menurut saya tidak semua orang bisa memasak," kata Anton Ego di Ratatouille.      

Yang sudah menonton filmnya tentu tahu, Anton Ego salah. Tidak hanya semua orang bisa memasak, bahkan seekor tikus pun BISA memasak.

Seakan mendengungkan mantra "anyone can cook", babak final ajang Sealicious yang saya saksikan kemarin adalah pembuktian siapa saja bisa memasak. Kelima finalis datang dari berbagai latar belakang. Ada ibu rumah tangga, apoteker, hingga pelajar.

Dan kemarin, Hari Susana, seorang ibu rumah tangga dari pinggiran Jakarta, dinilai dewan juri sebagai pemasak terbaik. Sedang Firdausia atau Firda, seorang pelajar, menjadi peserta favorit karena mengumpulkan vote terbanyak lewat online vote. Keduanya berhak mendapatkan hadiah utama berupa kursus masak ke Singapura.

Kemarin, dunia kuliner kita bisa jadi telah menemukan dua bakat baru. Atau jikapun tidak, saya senang mantra "anyone can cook" menemukan kebenarannya. Tidak hanya di film, tapi juga di dunia nyata.  

Saya lantas teringat Anton Ego yang kemudian di akhir film Ratatouille mengakui kesalahannya usai terpukau pada masakan Remy si tikus. Kita melihat Anton menulis sebuah ulasan:

"Dalam banyak hal, menjadi kritikus itu mudah. Risiko kami kecil, namun kami menikmati posisi menerima hasil pekerjaan orang dan menentukan hasil pekerjaan orang tersebut berdasarkan penilaian kami.

"Kami menikmati menulis ulasan negatif, yang tentu enak untuk ditulis dan dibaca. Namun kenyataan pahit sesungguhnya yang dihadapi kritikus adalah, pada skala besarnya, sebuah karya sampah mungkin lebih bermakna ketimbang kritikan kami.

"Akan tetapi ada kalanya seorang kritikus mengambil risiko, yakni ketika ia menemukan sesuatu yang baru dan membela hal baru itu. Dunia kadang kejam pada bakat baru, ciptaan baru. Orang baru membutuhkan teman.

"Kemarin malam, saya menemukan sesuatu yang baru: sebuah masakan luar biasa dari sumber yang tak pernah saya bayangkan. Mengatakan baik masakan dan pembuatnya telah menantang konsep yang sudah mengakar dalam diri saya tentang dunia masak-memasak saya rasa tak cukup tepat. Baik masakan dan pembuatnya telah menusuk saya hingga ke inti terdalam diri saya.

"Di masa lalu, bukan rahasia lagi saya tak menyetujui moto terkenal chef Gusteau, 'Siapa saja bisa memasak.' Namun sekarang saya sadar apa yang sesungguhnya ia maksudkan. Tidak semua orang bisa menjadi seniman hebat, tapi seorang seniman hebat bisa datang dari mana saja..."

Bagi yang biasa menulis ulasan film, apa yang diucapkan Anton Ego di atas seperti tamparan. Menjadi kritikus tak boleh sombong, merasa paling benar ataupun paling pintar. Apa yang dianggapnya sampah, bisa jadi sangat bermakna. Lalu tentu saja, setiap orang bisa berkarya, entah membuat film atau--dalam hal Ratatouille--semua orang bisa memasak.

Kemarin, mendatangi sebuah acara masak-memasak, saya diingatkan lagi pada mantra nan mujarab dan pesan Anton Ego yang penuh makna di atas.

Ah, saya jadi kangen menonton lagi Ratatouille.***

(ade/ade)

Penulis : Ade Irwansyah
Editor: Ade Irwansyah
Berita Terkait