The Untold Story of "Ada Apa dengan Cinta?"
TABLOIDBINTANG.COM - Dua film yang dianggap menjadi momentum bergeraknya kembali industri film Indonesia, Ada Apa dengan Cinta? (AADC) dan Jelangkung.
Dua film ini dibuat dengan teknik “meraba-raba”. Keduanya cetak biru film Indonesia generasi baru. Membicarakan dua film ini seolah tak ada habisnya. Ada banyak cerira-cerita “baru” dari film yang kini dianggap lawas.
“Pekerjaan kami hanya mencari ide,” papar Mira Lesmana (51), mengenang apa yang dilakukannya sepanjang 1998.
Riri Riza (45) yang bekerja sama dengan Mira sejak 1995 kala itu menulis sinopsis. Judulnya, Ada Apa dengan Cinta?, namun bukan film remaja. Cerita AADC versi asli tentang remaja bernama Cinta yang tinggal di sebuah gang “underground”. Topiknya tentang hubungan cewek dengan ibunya, yang beberapa tahun kemudian dikembangkan menjadi film Eliana, Eliana!.
Saat Mira membaca sinopsis itu, yang menempel di benaknya bukan sinopsis, melainkan judul. Judul itu terlupakan karena duet berambut keriwil ini mengerjakan proyek Petualangan Sherina. “Setelah Riri pulang kuliah S-2 dari London, saya bilang: Riri, gue ingin banget bikin film tentang putih abu-abu. Gue tidak mengalami masa putih abu-abu di Indonesia,” lanjutnya.
Mira ingin membuat film tentang persahabatan, cinta pertama, era SMA, dan problemnya. “Gue ingin pinjem judul yang lo buat, Ada Apa dengan Cinta?. Tapi pada saat yang bersamaan, Cinta nama karakter utamanya,” demikian Mira membeberkan percakapan yang terjadi 15 tahun silam.
Mira dan Riri melupakan isi sinopsis. Hanya meminjam judul. Ia, Riri, Prima Rusdi, dan Rudi Soedjarwo berkumpul di kantor Miles Films Jakarta lalu menggagas sebuah cerita baru tentang anak-anak remaja.
Prima dilibatkan karena ia pernah menulis cerita berjudul Buku Besar. Buku Besar mengisahkan persahabatan geng cewek yang kemudian diterjemahkan di layar menjadi persahabatan Cinta, Maura, Alya, Karmen, dan Mili.
Dalam film, Buku Besar divisualkan sebagai buku curhat geng Cinta di kantor majalah dinding sekolah. Mira, Riri, dan Prima membuat tiga sinopsis dengan tugas berbeda.
Riri menulis secara spesifik tentang siapa Rangga. Prima menulis soal persahabatan lima cewek SMA. Mira menggurat hubungan cinta dua anak manusia dengan latar keluarga berbeda, yang diliputi rasa takut dan tekanan-tekanan lain.
Ketiga cerita itu kemudian dipresentasikan kepada Rudi. Ia diberi kuasa memilih mana saja bagian menarik dari tulisan Riri, Prima, serta Mira. Bagian-bagian menarik pilihan Rudi dirangkum menjadi cerita AADC.
Riri menggambarkan, “Itu proses yang unik karena sutradara masuk di tahap-tahap sangat awal. Jadi bukannya divisi skenario menulis naskah sampai selesai baru kemudian 'belanja' sutradara. Kami ingin memastikan apa pun elemen yang ada di film itu adalah sesuatu yang kami cintai. Sutradara ikut memiliki film yang dia buat. Sinopsis asli AADC ditulis pada periode 1997-1998.”
Skenario terkunci, tim kecil ini mencari pemain. Sejujurnya, Dian Sastrowardoyo dikasting untuk tiga karakter: Karmen, Maura, dan Cinta. Di sinilah bagian rumitnya. Setelah beberapa kali mencocokkan karakter dengan pemain, Mira bilang kepada Rudi, “Sepertinya yang memerankan Cinta harus Dian.” Rudi memberi pertimbangan lain. “Kamu yakin? Saya pernah dengan Dian sebagai bintang utama. Hasilnya bagus. Kamu yakin dia jadi pemeran utama lagi?”
Awalnya, Dian dirasa cocok menjadi Karmen. Karakter Karmen ditakdirkan terampil memetik gitar. Dalam film digambarkan, Cinta bermain gitar sembari menggumam: bosan aku dengan penat dan enyah saja kau pekat seperti berjelaga jika kusendiri. Alya (Ladya Cheryl) bertanya, bukankah lirik itu bagian dari puisi yang ditulis Rangga?
“Saya bilang kepada Rudi, bagaimana kalau kita tukar karakternya. Cinta yang sporty menjadi pintar bermain gitar. Karmen yang main gitar menjadi lebih sporty,” Mira melanjutkan cerita.
Ide AADC lahir bersamaan dengan Petualangan Sherina dan rampungnya produksi Kuldesak. Pada saat yang sama, mereka membuat riset yang disebut Mira riset “warungan”. Riset kecil-kecilan soal adakah orang yang berminat menonton film Indonesia?
Mira dan Riri berpikir, tahun-tahun itu, industri musik Indonesia lagi ranum-ranumnya. Album pop dengan konsep segar diganjar plakat platinum. Album Cinta (Anang-Krisdayanti), album Sheila on 7, Pandawa Lima dari Dewa 19 misalnya, mencetak hit sepanjang masa.
“Produk berupa album bisa diserap pasar. Apakah film punya potensi untuk dijual selayaknya album Dewa, Anang-Krisdayanti, dan Sheila on 7? Kami menggugat dengan pertanyaan itu, meraba pasar film lewat AADC yang meremaja. Saat itu, belum ada catatan sejarah yang menerangkan berapa biaya produksi dan promosi sebuah film, berapa penghasilan film Indonesia. Kesannya, membuat film itu sangat misterius dan samar,” beri tahu Riri.
Setelah dirilis, Mira buka kartu, AADC ditonton 2,7 juta orang. Sejumlah kritikus film kemudian memprediksi berapa biaya produksi serta laba bersihnya. J.B. Kristanto pada 2004 menulis, “Kalau biaya produksi film standar (artinya, tidak memerlukan set, peralatan, kostum, dan sebagainya yang bermacam-macam seperti film yang bersamaan beredarnya dengan Ada Apa dengan Cinta?, yaitu Ca Bau Kan) sekarang ini sekitar 2 miliar.”
Sejak itu, industri film tidak lagi samar.
(wyn/gur)