Lebih dari 70 Film Sudah Diproduksi Nayato bersama Cinema Factory

Wayan Diananto | 22 November 2015 | 06:31 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - DUA pertanyaan menggenang di benak. Jumlah penonton film Indonesia cenderung menurun, namun mengapa setiap hari Kamis, jaringan bioskop kedatangan dua hingga tiga film Indonesia?

Sekadar informasi, sepanjang 2015 setidaknya ada 130 film lokal diproduksi dan siap edar. Puluhan di antaranya dikerjakan rumah produksi anyar. Pertanyaan lain, apakah rumah produksi baru ini tidak takut merugi mengingat formula bikin film laku hanya Tuhan yang tahu?

Wajah film Indonesia tahun ini berubah drastis jika dibandingkan dengan wajah sinema tahun 2000. Kala itu, kita hanya punya Petualangan Sherina. Jelangkung baru sampai di tahap praproduksi. Kini membuat film serasa mudah saja.

Siapa saja dengan anggaran berapa saja bisa bikin film dan bisa mendaftar ke jaringan bioskop untuk mendapat tanggal tayang. Banyak sutradara baru bermunculan. Bahkan, ada sutradara yang dalam setahun bisa mengerjakan lima film lebih.

Sutradara yang sama bahkan pernah merasakan sensasi merilis dua film dalam sehari. Nayato Fio Nuala, namanya. Pekan lalu, kami mewawancarai sineas misterius ini. Dikatakan misterius, karena dia hampir tak pernah datang ke press screening dan gala premiere filmnya sendiri. Alasannya klasik: sedang mengerjakan proyek film lain. Kepada Bintang, dalam sesi wawancara empat mata, Nayato berbagi resep betapa mudah membuat film sesuai dengan bujet.

Pada awal milenium baru, Nayato mendirikan Cinema Factory. Hampir semua film yang pernah dirilis atas nama Nayato Fio Nuala atau Nayato atau Ian Jacobs atau Koya Pagayo atau Pingkan Utari berasal dari pabrikan ini.

“Begini, syuting dengan biaya tidak besar, kalau dikerjakan tanpa kebebasan, rasanya sayang. Dengan modal sendiri saya mengerjakan film. Naskah dari tim saya sendiri. Penataan kamera saya sendiri. Formasi pemain ada di tangan saya,” ujar Nayato.

Nayato tak mau diganggu produser. Biasanya, kalau produser campur tangan, akan ada saja yang mesti disesuaikan. Entah alur ceritanya atau siapa yang harus menjadi pemeran utama. Kalau sudah begini, kebebasan terkebiri. Nayato tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sementara, sebagai sineas ia tahu apa yang dikerjakan dan tahu seperti apa nanti hasilnya.

“Cinema Factory memproduksi film sendiri. Setelah jadi, baru kemudian dipresentasikan kepada rumah produksi besar. Jika mereka berminat, mereka akan membeli dengan harga yang disepakati,” papar sutradara yang pernah mengarahkan Bunga Citra Lestari di film Cinta Pertama.

Cinema Factory benar-benar menjadi pabrik produksi film secara massal. Pernah, dalam setahun pabrik ini merilis delapan film. Hingga saat ini, Nayato bersama pabriknya telah memproduksi 70 judul!

Genrenya kebanyakan horor dan drama remaja. Horor bagi Nayato seperti rahim. Darinya bisa lahir horor “tulen”, thriller, dan atau suspens dengan bumbu konflik psikologis. Beberapa di antaranya mencetak box office. Misalnya Hantu Ambulance, Pocong Jumat Kliwon, serta Malam Jumat Kliwon. Drama Cinema Factory pun ada yang menembus daftar film terlaris. Antara lain Cinta Pertama, Akibat Pergaulan Bebas, dan 18+ True Love Never Dies.

(wyn/gur)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait