[RESENSI] Ave Maryam: Beratnya Memilih Antara Mencintai Tuhan dan Lawan Jenis

Wayan Diananto | 18 April 2019 | 17:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Suatu hari, susteran di Semarang kedatangan dua tamu. Pertama, Suster Monic (Tutie) yang sudah sepuh. Untuk mengurus diri sendiri saja, ia butuh bantuan orang lain. Riwayat kesehatannya buruk. Pernah jatuh di kamar mandi, demam tengah malam, dan hipertensi. Kedua, Romo Yosef (Chicco) yang ganteng dan punya bakat musik. Ia mengajar orskestrasi di gereja. Dengan kedua tamu ini, Suster Maryam (Maudy) punya interaksi berbeda.

Suster Maryam merasa Suster Monic tak menyukainya. Ia merasakannya saat salah meletakkan sendok di meja untuk sarapan. Ketika Suster Monic memutar piringan hitam lalu Suster Maryam mendekat, ia memilih keluar ruangan. Diam-diam, Romo Yosef menyukai Suster Maryam. Beberapa kali ia mengajak Suster Maryam berkencan dari makan malam bersama hingga merayakan ulang tahun di pantai. Suster Maryam dihadapkan pada dua pilihan sulit, setia pada Tuhan atau menuruti cinta. 

Ave Maryam adalah film minim dialog. Ceritanya dijalin dari kesunyian demi kesunyian di susteran. Tampaknya, sunyi yang mendominasi mewakili suasana hati Maryam. Sefokus-fokusnya ia melayani para suster yang sepuh dan bergaul karib dengan Tuhan, ia tetaplah manusia. Sesekali ia lupa. Sesekali hatinya ingin bermain. Dan saat hati Maryam ingin bermain, ndilalah, Romo Yosef yang juga kesepian, datang.

Dari sini, cerita berkembang dan menciptakan simpul-simpul rumit berupa salah paham, penolakan terhadap jatuh cinta, lupa memberikan surat titipan, hingga nafsu yang gagal dibendung. Maudy menampilkan performa yang memikat. Air mukanya menyiratkan kegelisahan. Sepanjang film, emosinya jarang terlihat. Sekalinya, tampak langsung meledak. Saya tidak akan lupa pada raut penyesalannya di dalam mobil, saat langit menggelap dan hujan lebat turun.

Puncaknya, ketika Maryam pulang lalu disambut kejutan ulang tahun. Tangisan Maudy di ruang depan susteran dari tidak bersuara hingga berteriak adalah puncak kesunyian nan mematikan. Sejenak, saya lupa pada Zaenab yang puluhan tahun melekat pada Maudy. Di sisi lain, Chicco membangun karisma. Kegigihannya mendekati Suster Maryam, caranya memandang Maryam, gayanya melatih musik membuat saya maklum mengapa Maryam kali ini tak berdaya. 

Kisah cinta ini dituturkan dengan intim, perlahan, dengan bingkai-bingkai kamera yang memperlihatkan indahnya kota tua Semarang. Ilustrasi musiknya efektif membangun suasana khidmat di rumah ibadah maupun susteran. Ada beberapa adegan yang dibiarkan tanpa musik. Robby mempersilakan kita mencicipi heningnya sebuah interaksi. Ave Maryam kisah cinta yang unik. Bukan saja karena latar belakangnya susteran dan yang terlibat adalah karakter rohaniwan. 

Robby lewat naskahnya menyelipkan beberapa isu yang belakangan sering muncul di masyarakat kita dengan meminjam mulut Suster Monic. "Jika surga belum pasti untuk saya, buat apa saya mengurusi nerakamu?" kata Suster Monic pada Suster Maryam. Pernyataan Suster Monic lainnya, "Biarlah ibadahmu menjadi rahasiamu (dengan Tuhan) sama seperti kamu merahasiakan dosa-dosamu."

Dua pernyataan ini terasa relevan dengan kondisi masyarakat kita yang mabuk agama, gemar mengingatkan, dan menguliti kesalahan orang lain. Padahal, perilaku mereka acapkali lebih buruk daripada yang ditegur.

Yang kurang dari film ini, latar belakang Maryam yang buram. Latar belakang yang jernih penting mengingat posisinya sebagai tokoh utama. Sampai film berakhir, saya tidak tahu siapa orang tuanya dan apa yang membuatnya sampai di susteran. Sementara Romo Yosef sebaliknya. Penokohannya membuat Anda dan saya paham mengapa ia kembali ke Semarang. Kita paham saat Romo Yosef berkata bahwa nyaris tak ada yang berubah dari susteran setelah bertahun-tahun ia tinggalkan.

Bisa jadi, amblasnya latar belakang Maryam karena dibabat LSF. Durasi Ave Maryam sebenarnya 85 menit. Saat hendak diedarkan di bioskop Indonesia untuk 21 tahun ke atas, LSF menyensor Ave Maryam sebanyak 11 menit. Akhirnya, film ini dirilis untuk 17 tahun ke atas dengan durasi final 73 menit. Sayang sekali...

Pemain: Maudy Koesnaedi, Chicco Jerikho, Tutie Kirana, Olga Lydia, Joko Anwar
Produser: Tia Hasibuan, Ertanto Robby Soediskam
Sutradara: Ertanto Robby Soediskam
Penulis: Ertanto Robby Soediskam
Produksi: Summerland, Pratama Pradana Picture, Grafent Production
Durasi: 73 menit

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait