Supernova: Ksatria, Putri & Bintang Jatuh: Kesatria dan Putri yang Tidak Setia

Wayan Diananto | 19 Desember 2014 | 16:27 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Seandainya film itu puzzle, adegan adalah kepingan-kepingan pemuat secuil makna. Jika tidak direkatkan satu sama lain, kepingan tadi tetaplah secuil. Tak pernah menjadi utuh. Sutradara bertugas memasang kepingan-kepingan tadi, sehingga kita memahami apa yang dimaksud saat semuanya telah terhubung. Namun tak semua sutradara punya inisiatif itu. 

Terkadang, untuk mencapai level yang lebih tinggi, ia membiarkan beberapa keping teracak. Ini stimulan untuk merangsang penonton merangkai. Jadilah film itu, kalau boleh meminjam istilah Dewi Lestari, Taman kanak-kanak. Anda siswanya. Tugas Anda, menghubungkan keping-keping yang belum runut. Itulah teknik yang dipakai Rizal Mantovani dalam mahakarya terbaru, Supernova.
    
Dimulai dengan perkenalan dua mahasiswa di Washington D.C., Amerika Serikat, Dimas (Hamish) dan Reuben (Arifin). Perkenalan ini berujung janji temu di sebuah pesta. Saat keduanya melahap "permen" lalu diterbangkan badai serotonin, Dimas membuat pengakuan yang sejujurnya tidak mengagetkan bagi Reuben, “Aku gay.” Lalu, keduanya berjanji membuat megacerita ambisius sepuluh tahun nanti.
    
Sepuluh tahun kemudian di jantung Republik Indonesia, seorang reporter dari Majalah Lestari, Rana (Raline) membuat janji temu dengan direktur muda yang ingin menjadi kesatria, Ferre (Herjunot). Wawancara dimulai dengan pertanyaan: kenapa simbol Majalah Lestari kupu-kupu? Tanya-jawab yang semula kaku, cair dalam 10 menit. Yang disadari Ferre kemudian, cincin yang mengurung jari manis Rana. Rana telah dimiliki Arwin (Fedi). Pernikahan ideal yang perlahan membekukan hati Rana.
    
Hari berganti, keyakinan Ferre bahwa komitmen itu tidak dibutuhkan, dapat terganti. Ia percaya Rana putri yang dicarinya. Keduanya tergulung ombak cinta. "Apakah engkau benar jatuh, wahai kau yang sedang jatuh cinta?" Pertanyaan yang tak mampu dijawab Ferre ini diucapkan Diva (Paula) pada suatu pagi, tatkala ia melihat Ferre menerima telepon dari Rana dari balik jendela kaca.
    
Dalam Supernova, Sang Ibu Suri (Dewi Lestari) memperlihatkan petuah cinta. Laksana pujangga, ia mengkhotbahkan tema purba dibalut kemutakhiran. Mula-mula, menempatkan diri di atas pembaca novel dan kini penonton film. Ia memulai menit-menit awal dengan serotonin, lalu menyambar bakteri dan menerbangkannya ke level Galaksi Bima Sakti. Kepiawaiannya tentang sains dan fiksi diwariskan kepada Dimas-Reuben. Keduanya "mengajar" kita tentang ilmu. Kemudian, cinta.
    
Cinta yang dihidangkan dalam piring seluas galaksi ini berat. Dan membuat kepala cenat-cenut. Kosakata turbulensi dan lain-lain membentangkan jarak. Jarak antara Dee dan penonton itu, ditengahi Rizal. Ia penyampai pesan yang piawai mengemas pesan menjadi lebih enteng via gambar, komposisi warna, dan sinematografi rupawan. Serupawan para "wayang" gubahan Dewi. Meski demikian, Rizal tak mau menjadikan Supernova se-ngepop 5 Cm. Ia menguntit pola tutur Dewi yang agak sulit ditebak. 
    
Tidak lugas. Harus ada seni yang membuat penonton tetap khusyuk “beribadah” terhadap cerita. Maka, durasi dua jam lebih serasa tiada arti ketika Anda dan kami terus berpikir. Itulah yang membuat Supernova terasa lebih "agung" daripada dua film Soraya sebelumnya. Gambar-gambarnya syahdu. Naskah dan dialognya menganut "rima" serumpun. Akting pemainnya mampu membuat kami hanyut. 
    
Problem mayoritas film adaptasi novel masih saja dialami film ini. Yakni, berkompromi dengan imajinasi pembaca novel. Yang dibayangkan pembaca saat membaca Supernova mungkin tidak sejalan dengan film. Diva misalnya, entah mengapa dalam pandangan kami terasa terlalu dingin. Beda dengan imajinasi kami saat membaca novelnya. Namun, bisa jadi penampakan Diva di layar lebar sesuai dengan fantasi Anda saat membaca novel ini tujuh tahun silam. Itu soal selera. 
    
Jika ini yang terjadi pada Anda saat menonton Supernova, ingatlah hukum terutama soal cinta menurut firman Ibu Suri kita. "Engkau jatuh cinta atau sekadar berimaji tentang cinta?" Anda memang mencintai Diva (atau Arwin atau Ferre atau Rana atau Dimas atau Reuben) ataukah sekadar berimajinasi mencintai salah satu dari mereka? Kalau Anda mencintai karakter Supernova dengan tepat, tentu fisik manusia-manusia malang yang terproyeksi di layar itu bukanlah masalah besar. Bukan begitu? 

Pemain    : Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Paula Verhoeven, Arifin Putra, Hamish Daud
Produser    : Sunil Soraya
Sutradara    : Rizal Mantovani
Penulis        : Donny Dirgantoro, Sunil Soraya, Dewi Lestari
Produksi    : Soraya Intercine Silms
Durasi        : 136 menit

(wyn/adm)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait