Mencari Hilal: "Mencari Di Kaki Langit, Menemukan Di Bawah Langit"
TABLOIDBINTANG.COM - Film ini membawa saya ke pemahaman tentang mencari dan menemukan. Mencari tidak selalu dimulai dari “kehilangan”. Kadang, di tengah jalan kita mencari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah pergi. Kadang, kita mencari sesuatu yang sebenarnya sudah kita miliki namun, kita tidak sadar betapa berharganya apa yang telah tergenggam.
“Jeung, berat amat bahasanya?” celetuk si teman cerewet yang kebetulan (atau malah apesnya?) menemani saya menulis resensi ini.
Kami tidak menghadiri sesi gala premiere Mencari Hilal. Juga, tidak sempat mendatangi sesi press screening yang dihelat beberapa hari sebelum cuti panjang bertandang. Kami nonton film ini di studio 3 Grand 21 Solo. Sebagai informasi pada jam pertunjukan 18:30, hanya ada satu penonton. Dan itu, saya.
Petang itu saya bertemu dengan Pak Mahmud (Deddy Sutomo), penjual barang kebutuhan sehari-hari di pasar. Ia kelewat jujur. “Saya ini tidak berdagang. Saya beribadah,” serunya kepada pembeli yang ngotot ingin memborong.
Sementara Mahmud tidak mau menjual barang itu seluruhnya kepada seorang pembeli. Ia masih memikirkan calon pembeli lain. Apa jadinya jika pembeli lain tidak kebagian barang tersebut?
Bagi Mahmud, berdagang tdiak sekadar mencari untung. Ia pun mengambil untung sak imprit. Kebijakan Mahmud ini yang membuat pedagang lain sirik. Malah, beberapa pedagang mendatangi rumah Mahmud dan memaksanya menjual barang dengan harga yang sama dengan pedagang lain. Mahmud menolak.
pedagang kemudian mendebatnya hingga membawa-bawa pemerintah sebagai biang pendosa. Menentukan kapan Lebaran saja sampai merogoh anggaran Rp 9 miliar. Celotehan salah satu pegadang itu membuatnya terpukul.
Mahmud menutup tokonya lebih awal. Ia ingin mencari hilal yang selama ini dijadikan acuan untuk menentukan kapan Ramadan berakhir dan umat merayakan kemenangan. Baginya, mencari hilal tak harus merogoh kocek miliaran.
Putri Mahmud, Halida (Erythrina) mencegah. Alasannya, kesehatan Mahmud belakangan memburuk. Indikasinya, darah yang merembes di baju dalam Mahmud.
Pagi itu, tamu tak diundang datang. Ialah Heli (Oka Antara), anak yang selama ini dianggap sudah tak ada oleh Mahmud. Beberapa kali foto wisuda Heli yang terpasang di dinding dicopot Mahmud dan disembunyikan di laci. Anak yang tak pernah pulang bagi Mahmud sudah tidak layak disebut anak. Kini, anak yang tak pernah pulang itu pulang.
Bukan untuk menemui ayah dan memohon pengampunan, namun untuk minta bantuan Halida membuat paspor kilat. Halida bersedia membantu jika dan hanya jika Heli bersedia mengawal ayahnya mencari hilal. Sebuah persyaratkan menjengkelkan yang mau tak mau mesti diiakan Heli. Perjalanan pun dimulai.
Cerita sesederhana ini berhasil mengaduk perasaan penonton. Fokusnya, interaksi ayah dan anak yang entah mengapa di tangan Ismail Basbeth, kisah klise ini terasa menyegarkan dan mencerahkan. Dua laki-laki dari dua generasi jalan berdua. Keduanya, seperti dibatasi tembok tak terlihat yang membuat watak mereka terus dan terus berbenturan.
Si ayah menuding anaknya tidak tahu adat. Si anak berbalik mengatai ayahnya jago agama namun dungu soal bagaimana menjadi ayah yang baik. Si ayah menyebut anaknya kurang mengenal Tuhan sehingga menganggap bohong hal lumrah. Si anak memandang ayah sebagai si tua yang kolot, sampai-sampai teknologi pun harus tunduk pada asas “memang ini sudah jalan yang digariskan Tuhan”. Padahal, jalan yang konon digariskan itu sebenarnya bisa disederhanakan dengan kecanggihan teknologi, yang inspirasinya bersumber dari Sang Khalik juga.
Model interaksi seperti ini menguras emosi pemain. Dengan kata lain, dibutuhkan pemain tingkat “dewa” yang mampu mempresentasikan interaksi berbatas (tembok) dengan ekspresi berikut emosi nyaris tanpa batas. Itu dieksekusi dengan ciamik sekali oleh Deddy dan Oka. Mereka benar-benar melewati batas.
Saya dan juga Anda tidak melihat ada Oka dan Deddy di sana. Yang ada, Mahmud dengan karakter yang tidak sekadar menyita perhatian. Tapi juga, menyita hati kita. Yang ada hanyalah Heli yang tangannya nyaris tidak bisa tidak memegang gawai plus seabrek ambisi soal Nicaragua dan tumpukan pertanyaan kritis.
Mereka membuat cerita yang sebenarnya relatif tenang menjadi terlihat memiliki riak dan tekstur ombak bernama konflik. Lalu, kita melihat panorama Yogyakarta yang sebenarnya sudah sering saya kunjungi. Wawan I. Wibowo menjadikan Yogyakarta di dunia per-hilal-an tampak indah dan syahdu. Gambarnya terasa sedikit muram, gamang, dan di beberapa adegan tampak puitis. Kekuatan yang jarang kita lihat pada film Indonesia dengan payung tema keluarga dengan penceritaan bermetode perjalanan.
Uniknya, trio penulis Salman-Ismail-Bagus tak mau terjebak pada melodrama membabi buta yang bermuara pada satu tujuan murahan: membuat penonton berlinang. Memasuki pertengahan film, hasrat mengkritisi beberapa kasus faktual muncul. Kasus gereja yang IMB-nya tidak keluar, sidang isbath dengan dana fantastis, kerusakan alam, sampai uang pelincin agar paspor langsung jadi tak luput dari sentilan mereka. Beberapa terdengar menyentil. Satu dua di antaranya terdengar menceramahi. Khususnya, adegan rembug warga soal peribadatan gereja.
Terlepas dari keceriwisannya, Mencari Hilal adalah pengejawantahan film sebagai wajah realita sosial yang dihidangkan lewat racikan dialog-dialog sarat gizi rendah pembodohan. Disuguhkan di atas piring bermotif polos karena materi dasarnya sudah cukup beragam. Ibarat gaun, Mencari Hilal adalah busana dengan potongan clean cut yang membuat pemakainya terlihat lebih berkarakter dan tegas. Dilakonkan oleh mereka yang tidak begitu akrab dengan Piala Citra bahkan mungkin belum mendapat pengakuan festival. Betapa pun demikian, Deddy dan Oka adalah penerjemahkan dari konsep “ketepatan kasting”.
Pekan lalu, ada empat film Indonesia yang dirilis di bioskop. Tanpa bermaksud memandang sebelah mata pada kontender film Lebaran lainnya, Mencari Hilal adalah yang terbaik dari segi kualitas. Penyutradaraaan Ismail Basbeth adalah bukti, kita punya sineas alternatif dengan penuturan gambar efektif. Para pelakon tidak perlu banyak namun kemunculan mereka membawa porsi dan pesan penting. Gambar tidak perlu mewah, asal mampu menunaikan tugas film sebagai gambar yang bercerita. Akhir film ini sungguh menyentuh.
Adegan yang sangat simbolis. Bayangkan, seorang ayah mencari fenomena terbitnya bulan sabit di kaki langit. Namun di tengah pencarian itu, ia menemukan hal paling berharga sebagai seorang ayah di bawah langit. Jarang, saya menemukan adegan penutup semanis ini. Dan jika Anda mau bersabar beberapa menit saja, saat kisah ini berakhir, dengarkanlah lagu “Mencari Hilal” yang mengiring daftar “kerabat kerja”. Lirik lagunya sarat makna. Kentara sekali, diksi diniatkan sebagai puisi yang dituturkan dengan mematuhi pakem melodi. Sangatlah indah.
Jelas, Mencari Hilal kalah sejak awal dari segi merangkul populasi penonton. Tapi ingat, tidak perlu heran jika film ini nantinya dinominasikan di banyak festival film negeri sendiri. Bagi saya, filmnya sendiri sudah unggul. Ditambah kekuatan sinematografi, akting, lagu tema, naskah, dan penyutradaraan yang baik. Salah satu gambar terbaik tahun ini. Malam itu, saya sendirian menonton Mencari Hilal di studio 3 Grand 21. Itu artinya, malam itu, saya satu-satunya penonton yang beruntung menyaksikan dan menerima pesan penting dari sebuah mahakarya bernama film (Indonesia).
Lantas apa hubungannya antara paragraf pertama resensi ini soal mencari, kehilangan, dan apa yang sudah tergenggam dengan film Mencari Hilal?
Tonton saja filmnya sampai tuntas. Anda akan dapat memaknainya dengan sederhana dan mendalam. Jawaban Heli saat Mahmud mengucapkan kata, “Hilal” sembari menatap bulan sabit di bibir laut, kala siang berkalang senja adalah momen terbaik yang membuat mata saya yang minus empat ini berkaca-kaca.
(wyn/gur)