[RESENSI FILM] Ular Tangga: Tidak Semematikan yang Dibayangkan

Wayan Diananto | 13 Maret 2017 | 08:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pemain: Shareefa Daanish, Vicky Monica, Alessia Cestaro, Ahmad Affandy, Randa Septian, Yova Gracia, Fauzan Nasrul

Produser: Tommy Soemarni

Sutradara: Arie Azis

Penulis: Mia Amalia

Produksi: Lingkar Film

Durasi: 94 menit

Sineas Indonesia ternyata masih punya banyak ide untuk membuat cerita horor. Ular Tangga salah satu yang sebenarnya memiliki ide menarik. Masalahnya, konsep menarik saja tidak cukup untuk membuat sebuah film bersinar di tangga box office. Ada beberapa hal yang menghalangi karya terbaru Arie Azis ini menciptakan antrean mengular di bioskop. Apa saja dan mengapa?

Kisah Ular Tangga dimulai dari Fina (Vicky), mahasiswi yang memiliki minat tinggi terhadap alam supranatural. Banyak pertanyaan berhamburan di benaknya. Bisakah roh melayang dan menemui roh lain? Bisakah jiwa seseorang melebur ke alam lain? Serta berbagai kemungkinan metafisika lainnya ditanyakan Fina kepada Pak Dosen (Roy Marten). Semua ada penjelasannya. 

Namun tak semua penjelasan itu bisa diaplikasikan. Pertanyaan-pertanyaan itu menguat ketika pacar Fina, Bagas (Ahmad) hendak mendaki gunung bersama para pencinta alam lainnya seperti Martha (Alessia), Dodoy (Randa), Lani (Yova), dan William (Fauzan). Pertanyaan Fina menjelma menjadi firasat. Ia melarang Bagas melakukan pendakian. Ia merasa ada sesuatu yang buruk mengintai mereka di gunung itu. Bagas tak peduli. 

Pendakian tetap dilakukan dengan bantuan Gina (Shareefa). Di tengah perjalanan, mereka menemukan pohon dan rumah tua. Fina melihat dua gadis cilik berdiri mengenakan gaun berwarna putih. Dari sinilah kejanggalan demi kejanggalan menguji nyali.

Ular tangga berada di posisi tanggung. Jika diniatkan sebagai sebuah pendakian, saya tak merasakan bagaimana perjalanan menuju puncak itu terbangun. Film ini seolah hanya ingin bilang: ada sekumpulan anak muda naik gunung dan diganggu setan. Sesimpel itu. Dan jika demikian halnya, maka ini tidak jauh beda dengan Kuntilanak 2 atau Jelangkung yang menjadi legenda. 

Jika ini dimaksudkan sebagai sepenggal kisah di atas gunung, para pemainnya kurang terkoneksi secara intens. Saya belum sempat merasakan bagaimana sekelompok anak muda ini saling memiliki sebelum mereka terpisah dan kemudian tiba di babak akhir yang menegangkan.

Karakter-karakter dalam film ini kurang berkembang. Sebagian malah melakukan aksi benci atau saling memiliki tanpa sebab jelas. Satu-satunya karakter yang membuat penonton tergerak hanya Fina. Sementara yang lain tampak kurang mendapat ruang untuk bersinar.

Cara Arie Azies membangun atmosfer horor pun mohon maaf tak sepenuhnya mampu menciptakan efek kejut. Ada bisikan-bisikan yang rasanya kok tidak perlu diulang lagi dan lagi. Pengulangan itu membuat suasana mencekam menjadi lebih mudah ditebak. Saat sebuah cerita horor mudah ditebak, maka pudarlah aura horornya.

Sebenarnya, di samping karakter Fina, ada Nyi Barong (diperankan dengan baik oleh aktris Tuti Kembang Mentari-red). Nyi Barong adalah nenek bungkuk yang tampil mengejutkan di beberapa adegan. Sayang, karakter itu tidak diberi latar yang lebih detil. Penulis naskah malah lebih asyik mengutak-atik dua hantu cilik yang notabene kurang memberi sumbangsih efek ngeri.

Ular Tangga pada akhirnya menyisakan banyak catatan dari aspek cerita, akting, production value, hingga penggarapan. Ada dua-tiga adegan yang bikin jantung deg-degan, memang. Akhir film ini mampu membangun simpatin penonton terhadap tokoh utama. 

Di sisi lain, akhir film ini menyisakan lubang menganga yang memungkinkan Anda menduga banyak hal. Jika senggang dan kocek memungkinkan, boleh saja menjadikan Ular Tangga sebagai “permainan” alternatif di bioskop. Meski jujur, “permainan” ini tidak semematikan yang saya bayangkan saat masuk ke bioskop. 

(wyn/ari)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait