RESENSI FILM: The Crucifixion, Serahkan Keperawanan Lalu Kerasukan Setan

Wayan Diananto | 15 Juli 2017 | 21:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pengusiran setan salah satu tata cara gereja yang paling rentan memakan korban jiwa. Jika setan yang dihadapi kelas kakap, bukan tak mungkin ia mengamuk dan mematikan korban. Gagal menyelamatkan korban menjadi aib sekaligus dosa bagi pihak gereja. Tata cara ini pula yang paling menarik perhatian khalayak termasuk seniman. Berkali-kali ritual ini diangkat ke layar putih, berkali pula ia mencetak box office. Bagaimana dengan The Crucifixion?

Film ini didasari kisah nyata dengan latar Rumania yang anggun pada 2004. Uskup Dimitru menjadi bahan gunjingan. Dalam sebulan, ia melakukan 10 pengusiran setan. Yang paling heboh, saat ia mengusir setan dari tubuh suster Adelina Marinescu (Olivia Nita). Adelina disalib dengan kedua tangan dan kaki diikat. “Namaku Agares,” seru Adeline yang tiba-tiba bersuara laki-laki.

 

Praktik itu dihentikan Uskup Grenik (Matthew Zajac). Adeline akhirnya meninggal. Dimitru dan sejumlah suster yang melakukan praktik pengusiran dijebloskan ke penjara. Kasus ini menjadi buah bibir. Seorang reporter Nicole Rawlins (Sophie Cookson) bertekat menelusuri kasus ini. Ia menghubungi suster Vaduva (Britanny) dan kakak Adeline, Stefan Marinescu (Ivan Gonzales).

Kegigihan Nicole mendatangkan sejumlah konsekuensi. Ia mengalami sejumlah peristiwa ganjil. Uskup Anton (Corneliu Ulici) memperingatkan Nicole bahwa sebelum ia mengurai simpul rumit kematian Adeline, ia mesti berdamai dengan masa lalunya yang kelam.

The Crucifixion sebenarnya tidak buruk. Kekuatan film ini terletak pada pengambilan gambar yang indah dan puitis. Beberapa kali kamera menangkap momen indah mulai dari lansekap Rumania, penggambaran pengusiran setan yang dramatis, hingga adegan berpelukan di tengah hujan buatan yang diciptakan setan. Di adegan itu, pergerakan gambar seketika melamban. Ekspresi dua karakter terlihat lebih jelas, dibasahi bulir-bulir air yang jernih.

Momen ini jarang kita dapat di horor lain. Selain itu, gaya bertutur Xavier kalem. Jauh dari emosional dan ambisi untuk meneror penonton. Sineas kelahiran Prancis ini menekankan pada proses darimana sebenarnya Agares berasal. Beberapa teori dikemukakan. Pertama, Adeline saat ke Jerman jatuh hati pada seorang laki-laki. Cinta membutakan hati. Ia menyerahkan keperawanannya dan kekhilafan itu berujung pahit. Ia dibohongi. Sejak itu, jiwanya diguncang setan.

 

Teori lain, eksistensi setan di kampung Adeline. Setan terkenal dengan kemampuannya berpindah-pindah tubuh. Teori lain, hubungan Adeline dengan rumah sakit jiwa dan interaksinya dengan sejumlah psikiater. Setidaknya, ada tiga teori dan Xavier mengajak kita untuk mengecek satu per satu teori ini. Sebuah pola tutur yang tak lazim sekaligus unik.

Konsekuensinya, coba-coba teori ini jika tidak dibarengi dengan peningkatan tensi ketegangan menghasilkan drama yang membosankan. Dalam banyak fase, penampakan setan tak sepenuhnya mampu menciptakan efek seram. Penampakan hantu di balik pintu hingga teror di jalanan sepi nyatanya tak sesuai ekspektasi. Kegagalan di sektor memedi diperparah dengan konflik psikologis karakter utama dengan masa lalunya.

The Crucifixion terasa tanggung. Kurang seram. Terasa bermain-main di ranah psikologi karakter namun tidak detail. Yang lebih menonjol adalah visualnya yang puitis sementara elemen ini menurut saya kurang dibutuhkan dalam meracik kisah horor.

Meski demikian, film ini tidak sepenuhnya gagal. Momen saat Adeline menatap jendela. Atau saat ia memejam di kasur dan berubah menjadi orang lain, sementara teman sekamarnya ketakutan masih bisa membuat saya merinding. 

 

Pemain    : Sophie Cookson, Corneliu Ulici, Brittany Ashworth, Matthew Zajac, Ivan Gonzales
Produser  : Leon Clarance, Peter Safran 
Sutradara : Xavier Gens
Penulis     : Chad Hayes, Carey W. Hayes
Produksi   : Motion Picture Capital, Premiere Picture, Safran Company 
Durasi       : 1 jam, 32 menit

(wyn / bin)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait