Fashion Indonesia Masih Jalan di Tempat, Benarkah?
TABLOIDBINTANG.COM - Seperti diketahui bahwa industri mode global semakin mengalami perkembangan yang pesat. Namun, tidak demikian dengan kemajuan industri fashion di Indonesia. Bahkan, fashion Indonesia sejauh ini terkesan “jalan di tempat”. Benarkah demikian?
Thresia Mareta selaku Founder of LAKON Indonesia mengungkapkan bahwa selama 20 tahun ini, kami menjadi salah satu pelaku dari ekosistem fashion dan kami menjadi saksi perjalanan banyak desainer dan pelaku fashion.
“Kalau boleh jujur jika industri fashion di Indonesia dibandingkan dengan fashion luar di sana jujur masih jauh. Industri fashion kita bisa dibilang masih jalan di tempat,” ujar Thresia Mareta dalam diskusi JF3 Talk bertema Generasi Baru dalam Industri Fashion Indonesia di Teras Lakon Summarecon Serpong, belum lama ini.
Namun, lanjutnya, bukan berarti industri mode Indonesia tidak bisa, hanya saja memang perlu melakukan sesuatu. “Kita semua berharap agar fashion Indonesia dapat terus tumbuh dan berkelanjutan,” tuturnya.
Salah satu caranya, dikatakan Thresia yakni dengan menginisiasi Pintu Incubator yang sudah dilakukan beberapa tahun belakangan ini. Tujuannya agar terkoneksi dengan ekosistem fashion di Paris untuk melihat bagaimana mereka bekerja dengan standar yang diakui secara internasional.
Untuk itu, sebagai pelaku dari ekosistem industri mode, ia berusaha untuk membuka masalah tersebut dengan melibatkan para pelaku mode. “Ini adalah tanggung jawab kita, baik desainer, pelaku fashion, jurnalis, dan support system lainnya agar bertumbuh di masa mendatang,” ungkapnya.
Masih Ada Peluang untuk Industri Mode
Dalam kesempatan yang sama, Syahmedi Dean selaku Pengamat Mode, Penulis, dan Jurnalis Fashion justru membeberkan data kalau industri mode Indonesia memiliki peluang besar untuk berkembang. Terlebih dengan jumlah populasi yang besar dan banyaknya acara adat maupun budaya yang memerlukan sentuhan mode di dalamnya.
Diungkapkan Dean, dengan 273 juta populasi Indonesia sangat potensial untuk menghasilkan ‘cuan’ jika dibandingkan dengan negara di Eropa seperti Perancis. Terlebih, Indonesia memiliki banyak acara adat atau hari raya keagamaan yang memang memerlukan busana baru. Seperti acara nikahan, 7 bulanan, Idul Fitri, Natalan dan lainnya.
“Dan ini tidak ada di Eropa dan Amerika. Jadi kita perlu optimis kalau market untuk berjualan itu memang ada. Terlebih dengan merek luar. Karena mereka pun belum bisa memenuhi kebutuhan semuanya,” kata Dean.
Misalnya saja, penduduk Jakarta dengan 10 juta jiwa merupakan angka potensial. Sebut saja desainer atau brand menargetkan 0,001 persen dari penduduk Jakarta untuk membeli produknya, maka kemungkinan untuk terbeli itu tinggi.
Peluang untuk berkembang atau maju khususnya bagi desainer muda dan brand lokal tanah air sebenarnya dibutuhkan dukungan dari banyak pihak. Hal tersebut diungkapkan desainer asal Amerika Latin, Jesus Cedeno.
Desainer yang fasih berbicara bahasa Indonesia ini rela datang ke Yogyakarta untuk mengenal lebih dalam tentang batik. Sayangnya, menurut Jesus, di Indonesia, btik belum sepenuhnya dihargai.
Menurutnya, salah satu kendala dalam industri fashion Indonesia adalah kurangnya dukungan. “Seandainya desainer diberikan dukungan penuh pasti bisa berkembang dan tak kalah maju seperti negara lain,” tutupnya.