Polemik Harga Obat Mahal di Indonesia, Ini Penjelasan IAI

Indra Kurniawan | 26 Juli 2024 | 09:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Industri farmasi di Tanah Air belakangan diramaikan oleh desakan untuk menurunkan harga obat seusai Presiden Joko Widodo memberi arahan terkait kondisi harga obat di Indonesia 5 kali lebih mahal daripada di Malaysia.

Dalam arahan di Istana Negara beberapa waktu lalu, Jokowi bertanya mengapa harga obat dan alat kesehatan di dalam negeri lebih mahal, tetapi industri farmasinya tidak kunjung maju. Padahal seharusnya tingginya harga obat membuat industri farmasi meningkat. 

Polemik tersebut mendorong Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), apt Noffendri Roestam, S.Si., angkat bicara. Menurut Noffendri, harga obat yang mahal di Indonesia tergolong obat paten atau disebut originator dan hanya berkisar 10 persen. 

"Ada tiga jenis obat yang beredar di Indonesia. Pertama obat originator. Ini adalah obat yang pertama kali ditemukan suatu perusahaan farmasi. Obat ini memiliki masa paten 5-20 tahun," jelas Noffendri pada jumpa pers di kantor PP IAI di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat, Kamis (25/7).

"Setelah masa patennya habis, obat ini boleh diproduksi oleh industri farmasi lainnya berdasarkan lisensi mereka. Kemudian jadilah obat generik (bermerek). Ketiga, obat generik. Obat ini dulu diproduksi oleh BUMN tapi kemudian sekarang perusahaan swasta. Ini tidak dikasih merek," jelasnya.

Dari situ saja seharusnya masyarakat sudah bisa menilai mana obat dengan harga paling tinggi. Originator sendiri diproduksi oleh industri farmasi PMA (Penanaman Modal Asing) dengan penguasaan pasar hanya 10 persen. 

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri (kanan) saat memberikan keterangan kepada wartawan, didampingi Ketua Hisfardis apt Hanky Febriandi, S.Farm. (Indra Kurniawan/tabloidbintang.com)

Sedangkan generik bermerek atau generik tanpa merek merupakan produk dalam negeri, yang diproduksi sekitar 150 industri farmasi dalam negeri, dengan penguasaan pasar 90 persen. 

"Nah yang kemarin dilibatkan itu yang 10 persen, bukan yang 90 persen. Yang berani pakai ini (originator) hanya orang-orang tertentu karena mahal. Sementara yang dipakai sebagian besar masyarakat Indonesia adalah yang 90 persen," jelas Noffendri lebih lanjut.

Saat ini sebagian besar dari tiga jenis obat tersebut tersedia dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dengan harga khusus. Dengan kepesertaan JKN yang sudah lebih dari 90 persen dari masyarakat Indonesia, akses masyarakat Indonesia untuk memperoleh obat murah dan berkualitas bahkan gratis sudah terjamin melalui program pemerintah.

"Harga obat-obat generik dan generik bermerek ini bahkan bisa lebih murah hingga 50 persen dari obat originator. Misalnya yang originator Rp 20.000, giliran yang generik bermerek yang diproduksi pabrik indonesia harganya bisa Rp 4.000, bisa seperempatnya. Bahkan kalau yang generik bisa sekitar Rp 2.000 harganya," beri tahu Noffendri.

Walau harga obat generik bermerek dan generik tanpa merek di bawah originator namun ketiganya memiliki khasiat yang sama. Perbedaannya selain dari segi tampilan, juga erletak pada komponen bahan baku yang terdapat di dalam obat tersebut. 

"Ketika minum obat yang dikejar adalah target konsentrasi di dalam darah. Berapa lama dia kemudian bisa hancur di lambung. Kalau yang mahal mungkin lebih cepat hancur. Sedangkan yang murah lebih lama sedikit. Tapi apakah khasiatnya sama?" jelas Noffendri.

"Ya originator dan generik punya khasiat yang sama karena itu persyaratan yang harus dipenuhi ketika mendaftar di Badan POM. Lalu Badan POM memberikan jaminan obat ini (generik) khasiatnya sama dengan produk originatornya. Jadi masyarakat enggak usah khawatir," lanjutnya.

Penulis : Indra Kurniawan
Editor: Indra Kurniawan
Berita Terkait