Si Kecil Nampak Mungil, Apa Berarti Positif Stunting?
TABLOIDBINTANG.COM - Mudah bagi kebanyakan awam menilai anak yang terlihat kecil mungil jika dibanding anak seusianya sebagai korban stunting. Well, pendapat tersebut tidak salah. Walau tidak bisa juga dikatakan benar sepenuhnya. Karena ukuran tubuh anak yang lebih kecil hanya salah satu gejala stunting.
Ada beberapa gejala lain yang juga harus nampak untuk melengkapi diagnosa stunting. Antara lain berat badan kurang dari anak seusianya, susah naik berat badan atau bahkan cenderung turun, gangguan pada perkembangannya seperti terlambat berjalan dan terlambat berbicara dibanding anak seusianya, dan juga sering sakit-sakitan seperti batuk pilek, diare, dan rentan terhadap penyakit menular seperti TBC.
Anak stunting juga biasanya terlambat pertumbuhan giginya, kurang fokus, dan atau kecerdasannya kurang.
Tinggi badan anak yang dikatakan stunting pun tidak bisa sekadar karena lebih pendek dibanding anak lain. Ada standar terukur yang ditetapkan oleh WHO atau Badan Kesehatan Dunia.
"Yaitu jika kurva tinggi badannya kurang dari garis merah -2 SD (Severely Stunted atau sangat terhambat)," ungkap dr. Zatuilla Zahra Meutia, saat memberikan edukasi parenting dengan tema "Pola Asuh dalam Upaya Pencegahan Stunting" di TKN Mexindo, Bogor, Jawa Barat.
"Dan itu ditentukan oleh tenaga kesehatan," lanjutnya.
Dan stunting tidak hanya seputar masalah pemberian makan bernutrisi yang kurang. Dikatakan dokter Zatuilla yang praktik di Puskesmas Sempur, Bogor, stunting suatu proses yang cukup kompleks dan juga melibatkan lingkungan dan pola asuh keluarga.
"Bahkan jika mau melihat lebih jauh, stunting sudah bisa diprediksi dari mulai masa kehamilan. Ibu hamil usia muda, kurang edukasi tentang bagaimana seharusnya pemenuhan nutrisi ibu hamil, jenis makanan yang harus dan tidak boleh dikonsumsi, dan seperti itu," papar dokter Zatuilla.
Jadi ketika ibu hamil yang nutrisinya kurang, makannya sembarangan seperti tinggi garam, dan lain-lain, berisiko melahirkan bayi dengan berat badan kurang dan atau lahir prematur.
Jika bayi ini kemudian tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung ke arah perbaikan kesehatannya, seperti ekonomi kurang (rumah yang tidak memadai, kurang ventilasi dan sanitasi buruk), orang tua yang minim pengetahuan dan tidak paham pentingnya lembaga kesehatan, akhirnya menyebabkan bayi tumbuh serba kekurangan dan kemudian mengalami stunting.
Dari sini kemudian terbentuk siklus stunting yang berulang pada satu kelompok masyarakat. Nantinya akan ada lagi ibu-ibu hamil yang kurang gizi, anemia, dan anaknya kecil.
"Maka nanti saat upaya pencegahan, itu tidak lagi sebatas memperbaiki pemberian makanan, tapi juga mencakup semua aspek," simpul dokter Zatuilla.
Di lembaga kesehatan paling terdekat dengan masyarakat, yaitu puskesmas, intervensi pencegahan stunting sudah dilakukan dalam bentuk tata laksana kehamilan sebagai bagian dari stimulasi aktif pada 1000 HPK (hari pertama kelahiran) bayi atau kurang lebih sejak anak masih berupa janin hingga 2 tahun. Karena inilah masa krusial proses tumbuh kembang anak yang nantinya akan mencegah stunting.