Orang dengan Sifat Kepribadian Seperti Ini Cenderung akan Bercerai

Alam Mary | 6 Desember 2024 | 02:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Neurotisisme, yang ditandai dengan ketidakstabilan emosi dan reaktivitas yang tinggi, merupakan pendorong utama perceraian pada banyak pasangan. Meski semua hubungan mengalami pasang surut, individu dengan tingkat neurotisisme tinggi lebih cenderung menafsirkan naik turunnya hubungan dengan cara negatif dan merusak. 

Orang-orang dengan sifat neurotisime cukup mudah dikenali, karena biasanya mereka penuh bakat atau selalu bersemangat tinggi. Namun ketika dihadapkan dengan momen-momen stres atau penuh tekanan, pengalaman emosional sehari-hari, atau peristiwa hidup yang cukup besar, semangat tinggi mereka malah sering menjadi bumerang yang memperburuk situasi.

Jika pasangan Anda memiliki sifat neurotisisme, maka kecil harapan pernikahan akan langgeng hingga akhir hayat. Melansir Psychology Today, seperti ini neurotisisme pada diri seseorang bekerja dan memengaruhi secara negatif pada hubungan yang dijalani.

1. Bias negatif yang kuat akan meningkatkan konflik

Salah satu alasan utama mengapa neurotisisme sangat merugikan pernikahan, karena individu neurotik seringkali menafsirkan peristiwa yang ambigu atau netral melalui sudut pandang pesimistis. Sehingga konflik yang bisa jadi sebetulnya kecil, menjadi besar melalui kacamata mereka.

Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan BMC Psychology menemukan bahwa pasangan dengan tingkat neurotisisme yang lebih tinggi mengalami tingkat kepuasan pernikahan yang lebih rendah.

Hal ini terutama disebabkan karena orang-orang seperti ini cenderung lebih fokus pada pengalaman negatif, bahkan menafsirkan komentar atau tindakan yang tidak berbahaya dari pasangannya sebagai permusuhan atau ancaman. 

Efeknya menimbulkan kecemasan, ketegangan, rasa kasihan, permusuhan, impulsif, depresi, dan rendahnya harga diri. Individu yang sangat neurotik juga cenderung lebih sensitif terhadap stres, bahkan ketidaknyamanan kecil pun dapat menyebabkan reaksi emosional yang tidak proporsional.

Dalam konteks pernikahan, kecenderungan-kecenderungan ini dapat menciptakan ladang ranjau emosional yang mengarah pada konflik terus-menerus, kesalahpahaman, dan kelelahan emosional bagi kedua pasangan. 

Contohnya, ada suami atau istri yang mungkin sekali waktu terlupa membuang sampah dengan benar. Pasangannya yang neurotik cenderung akan menganggap hal ini sebagai bukti kecerobohan atau kurangnya rasa hormat sehingga berujung pada pertengkaran yang berlebihan.

2. Reaktivitas emosi yang mengganggu keintiman

Individu dengan reaktivitas emosional yang tinggi mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya. Mereka seringkali bereaksi dengan sensitivitas yang meningkat, ledakan yang intens, dan pemulihan yang lambat dari perasaan negatif.

Sebuah studi pada 2022 yang diterbitkan Frontiers in Psychology, menemukan bahwa reaktivitas emosional yang tinggi juga dikaitkan dengan tingkat "responsivitas pasangan" yang lebih rendah, yang mengacu pada seberapa baik pasangan merasa dipahami, dihargai, dan diperhatikan. 

Pasangan dari individu dengan reaktivitas tinggi cenderung menganggap pasangannya sebagai orang yang tidak ramah atau bahkan bermusuhan. Jadi ketika salah satu pasangan sangat reaktif secara emosional, pasangannya seringkali merasa tersakiti, diabaikan, atau disalahpahami, sehingga menyebabkan penurunan kualitas perkawinan. 

Ketika salah satu pasangan terus-menerus bereaksi dengan kemarahan, kecemasan, atau frustasi, maka pasangannya akan kesulitan memberikan dukungan. Dinamika ini mengikis kedekatan yang dibutuhkan pasangan untuk menjaga ikatan yang sehat. Mulai dari penarikan diri, menghindari kontak fisik, mengabaikan perasaan satu sama lain, atau menolak terlibat percakapan penting.

Penulis : Alam Mary
Editor: Supriyanto
Berita Terkait